Pernahkah suatu waktu dalam momen kegiatan, tiba-tiba muncul hal sepele tak terdeteksi? Lalu begitu acara berlangsung, hal itu menguras energi? Sebagian orang ada yang bilang itu “qodarullah”. Betulkah begitu? Padahal sejatinya sedang ada satu kekosongan terjadi. Kekosongan itu adalah tentang kerapian berpikir. Kaum muda harus mampu menatap masa depan dengan kerapian berpikir.
Rapi secara luas artinya tertata, teratur dan terarah. Dan, berpikir artinya mendesain sesuatu. Apakah itu gagasan atau rangkaian kegiatan, yang dapat kita wujudkan.
Baca Juga: Ujian Terberat Pemimpin
Jadi kerapian berpikir adalah kemampuan mengarahkan pikiran dengan tertib, terukur dan tentu saja sistematis dan efektif.
Nah, kaum muda, terutama mereka yang mengemban amanah sebagai pemimpin pada levelnya masing-masing penting memahami hal ini dengan sebaik-baiknya.
Kualitas itu Pada Detailnya
Kalau kita melihat sebuah bangunan atau benda tertentu, kita akan mengatakan itu baik. Atau malah bagus dan layak. Semua tentu berdasar pada harga yang tinggi. Dan, memang kala kualitasnya benar-benar tampak dan terang.
Bangunan berkualitas bisa orang lihat mulai dari tampak luar beton, semen dan bahkan cat yang menghiasinya. Jika cat itu tepat, ukurannya cermat dan polanya rapi. Orang akan suka. Tentu juga ada pengaruh bahan, pengerjaan dan komposisi.
Kaum muda harus mampu berpikir ideal sekaligus detail. Sebagai contoh, ketika kaum mahasiswa ingin mengubah bangsa ini. Langkah yang perlu mereka lakukan adalah persiapan. Bukan semata perlawanan tanpa desain.
Tetapi satu hal, persiapan itu berupa konsepsi yang mestinya jauh lebih unggul.
Era reformasi memang berhasil menyajikan perubahan dalam bentuk penggulingan Presiden Soeharto.
Tetapi mahasiswa belum mampu tampil sebagai pihak yang siap secara konseptual perihal bagaimana negara ini kita kelola.
Itu adalah satu bukti bahwa belum ada yang namanya kerapian berpikir. Kerapian berpikir di dalam hal ini, harusnya kaum mahasiswa, pemuda dan para tokoh reformasi kala itu setidaknya siap secara konseptual untuk membawa bangsa ini lebih baik.
Misalnya soal kenaikan tarif dasar listrik dan kenaikan harga BBM. Mengapa di era reformasi cukup sering terjadi dan mengundang demonstrasi?
Terlepas itu adalah buah dari kebijakan politik yang biasa yang orang katakan tidak pro rakyat. Kita perlu bertanya, apakah ada kesiapan pihak tertentu secara konseptual?
Bahwa cara mengatasi operasional listrik itu seperti ini dan seperti itu, sehingga tidak perlu rakyat terus terbebani oleh kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik).
Langkah Konkret
Kerapian berpikir pada akhirnya akan menuntun setiap jiwa untuk sadar akan langkah konkret yang perlu kita ambil.
Mengapa sebuah forum bahkan organisasi kadang tidak efektif dan belum berhasil menjalankan satu kebijakan yang mereka sepakati?
Tidak lain karena sisi detail belum ada, sehingga kebijakan terasa absurd dan mendorong psikologis sumber daya manusia tidak produktif.
Sisi detail itu tidak sama dengan formalitas yang biasa kita kenal dalam kehidupan banyak orang. Yakni adanya poin lengkap, tetapi itu ada hanya karena kebutuhan administrasi. Bukan untuk bekal aksi.
Contoh sederhananya seperti ini, ketika kaum muda bangsa Indonesia ingin negeri ini merdeka, maka mereka bertekad pada 28 Oktober 1928 dengan Sumpah Pemuda. Kemudian 17 Agustus 1945 terwujudlah hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Atau seperti Sultan Muhammad Al-Fatih, kala penaklukkan Konstantinopel selalu bertemu kegagalan, maka ia berpikir bagaimana menembus langsung ke jantung pertahanan lawan. Ditemukanlah satu jalan keluar, yakni menarik kapal dari laut melintasi gunung.
Baca Lagi: Antara Angan-Angan dan Ajal Manusia
Ide yang tidak rasional, tetapi kala ditetapkan, hal itu juga diikuti oleh sisi detail perihal bagaimana cara kapal itu ditarik naik gunung. Dengan cara apa, berapa panjang tali, berapa orang yang melakukan dan berapa lama waktu diperlukan.
Hitung-hitungan itulah yang dimaksud sisi detail. Dan, di sini kaum muda harus banyak belajar. Sebab jika tidak, maka pikiran dan idealisme kita akan terasa indah namun sebenarnya belum bisa diturunkan di dalam kehidupan nyata.
Dari sinilah kita perlu sama-sama melatih diri mewujudkan kerapian dalam berpikir.*


