Bahasan angan-angan dan ajal manusia mungkin sudah umum sekalipun jarang diulas, apalagi di kalangan konglomerat dan elit partai. Terlebih belakangan sudah muncul isu amandemen UUD 45 termasuk wacana Presiden bisa tiga periode.
Sebenarnya, setiap isu yang muncul di ruang publik tidak keluar begitu saja, ada diskusi bahkan riset dan perencanaan yang melatarbelakangi. Hanya saja, bisa lanjut atau tidak beberapa dipengaruhi oleh respon publik.
Baca Juga: Mengapa Banjir di Masa Nabi Nuh Tetap Ada Sampai Sekarang?
Beberapa lainnya, bisa saja tidak disetujui, tapi langkah bagaimana publik dapat “dipaksa” percaya dengan hal-hal yang tidak rasional dan tentu saja lebih memberatkan kehidupan di masa mendatang terus dilakukan.
Sebagai contoh isu Presiden tiga periode. Secara rasional ini sama dengan mengubur semangat reformasi. Tetapi jika ini dipandang jalan yang harus dipilih untuk satu kepentingan terwujud, bisa saja masyarakat “harus” percaya.
Terlebih kala secara politik, kalkulasi untuk amandemen dilakukan sudah mulai menemukan jalannya dengan besarnya koalisi pemerintah yang dibangun. Sebab, tidak setuju atau setuju, publik tak dapat ruang dan power yang memadai. Karena bagaimanapun, kalau DPR setuju, maka langkah itu benar-benar tinggal jalan.
Ilustrasi Nabi
Namun, bagaimanapun kita perlu melihat sisi lain yang bersifat kepastian, yakni penjelasan Nabi Muhammad SAW tentang kehidupan umat manusia.
“Nabi SAW pernah menancapkan sebatang kayu di hadapan beliau dan sebatang kayu di samping kayu yang pertama, serta batang kayu lainnya lagi agak lebih jauh (dari keduanya).
Kemudian beliau SAW bersabda, “Tahukah kalian tentang perumpamaan ini?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”
Beliau bersabda, “Batang kayu yang ini (pertama) ibarat manusia, dan yang itu (di sebelahnya) ibarat ajalnya, sedangkan yang jauh adalah angan-angannya. Manusia berusaha untuk mengejar angan-angannya, namun ajal menjemputnya sebelum angan-angan itu terwujud.” (HR. Ahmad).
Ideal Konkret
Ilustrasi Nabi SAW di atas memberikan satu pelajaran tegas bahwa lebih baik hidup ini diisi dengan hal-hal ideal yang konkret.
Jika memang Allah berikan kesempatan menjadi poltisi, penguasa, guru besar atau orang dengan pangkat tinggi, maka lakukanlah hal yang dapat menjadi bekal kematian.
Sebab, manusia pasti bertemu dengan ajal. Sangatlah berbahaya kala manusia mengisi hidup dengan buaian angan-angan kemudian ajal datang mengundang.
Sebuah ilustrasi menarik juga disampaikan oleh Gus Baha dalam satu tausiyahnya.
Bahwa seseorang berkata, saya punya aset ini dan itu untuk saya dan keturunan saya 20 tahun mendatang. Nah, kala ia punya niat itu dan menyampaikan kepada temannya, malaikat melihat bahwa ajal orang itu sebenarnya tinggal dua hari.
Terang saja malaikat tertawa dan merendahkan orang itu. Dua puluh tahun apa, dua hari lagi kamu tercatat akan bertemu ajal.
Baca Lagi: Benarkah Politisi Banyak yang Miskin Nilai?
Jadi, mengapa tidak hidup ini benar-benar diisi oleh pikiran dan perbuatan yang mulia, sehingga ke depan, saat kematian tiba, diri berada di dalam kebaikan dan tidak terbakar api angan-angan.
Cukuplah kita belajar dari Fir’aun, yang begitu yakin dirinya dapat mengejar Nabi Musa dan umatnya dengan kekuatan penuh, namun akhirnya tenggelam di tengah lautan.*