Sekalipun manusia itu tahu dirinya manusia, masih banyak yang belum menyadari dirinya sebagai manusia. Karena itu tetaplah penting upaya memahami diri sebagai manusia.
Dalam pandangan empiris, manusia itu jasadiyah, butuh makan, minum dan tempat tinggal. Ini tidak ada ruang untuk beda pandangan.
Tetapi manusia bukan sebatas empiris, ia punya dimensi inti, yakni batin. Seperti jasad juga butuh makan, minum dan tinggal di dalam kenyamanan batin. Di sini banyak manusia tidak memahami.
Baca Juga: Ini Syarat Negeri Makmur
Jadi, manusia bukan sebatas fisik tetapi juga batin. Orang yang memahami diri sebatas fisik, maka ia akan berorientasi hidup tentang bagaimana makan enak, minum nikmat dan tinggal di tempat mewah.
Bagaimana cara memeroleh itu semua, hukum halal-haram tidak akan ia pahami apalagi dijalankan. Kenapa, orientasinya jelas, hanya jasad belaka.
Terhadap orang yang memahami hidup sebatas jasadnya, KH. Abdullah Said menyebut mereka sebagai kelompok orang yang haus dan lapar ruhaninya. Indikasinya jelas, mereka akan melakukan apa saja tanpa kenal etika, moral apalagi akhlak.
Luas dan Utuh
Ketika manusia sadar diri tak sebatas jasad, tetapi juga ruhiyah, maka ia akan punya pandangan yang luas dan utuh.
Schopenhauer dalam buku Kearifan Hidup menuliskan bahwa setiap individu akan dikungkung oleh batasan-batasan pendapatnya sendiri yang tentu saja itu dibentuk oleh pemahaman terhadap dirinya sendiri sebagai manusia.
Ketika orang yang seperti itu tidak membuka diri untuk melihat lebih luas dan utuh, maka segenap sinyal kebesaran Tuhan dan aspirasi nurani terdalam akan dia tenggelamkan.
Bahasa Schopenhauer orang yang seperti itu tidak akan mampu melihat kebenaran di luar dirinya. “Jadi bantuan dari luar tidak banyak guna baginya.”
Jadi, di sini kita bisa menemukan sistem penjelas, mengapa orang di negara maju, sudah populer, kaya dan digemari banyak orang ada yang memilih mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
Pandangannya terhadap manusia, kehidupan dan yang lebih inti, seperti Tuhan, tidak pernah masuk di dalam kesadaran, sehingga ketika dirinya merasa dihantam badai, lalu tak ada tanda jalan keluar, ia pun putus asa.
Keputusasaan itu diambil saat banyak orang mengidolakan dan menginginkan kehidupan seperti dirinya. Tetapi, apapun, fakta telah tersaji, bahwa manusia memang tidak bisa survive apalagi bahagia hanya dengan cara mengisi kehidupan tentang bagaimana makan, minum dan tidur enak.
Hamba Allah
Oleh karena itu penting setiap jiwa memahami bahwa sebagai manusia kita butuh Tuhan. Bukan karena Tuhan itu diilusikan, tetapi karena memang demikian faktanya, manusia tidak mungkin hadir tanpa ada yang menghendaki hadir, siapa itu, kalau bukan Tuhan, yakni Allah Ta’ala.
Jadi kita harus menyadari bahwa akal, pikiran, dan naluri dalam mengisi hidup ini semua adalah anugerah dari Allah Ta’ala.
Baca Lagi: Kekuasaan itu Amanah
Dengan memfungsikan itu semua dengan baik atas bimbingan wahyu, maka manusia tidak akan tenggelam di dalam kompetisi semu di dunia. Sebab sebenarnya hati manusia juga sangat butuh dipenuhi kebutuhan pokoknya, dengan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai spiritual.
Sebagaimana Rasulullah SAW pernah hidup, seperti itulah kita harus mengisi kehidupan ini. Tidak mungkin akan sama kualitasnya dengan Nabi, tetapi setidaknya kita satu jalur. Pelan atau cepat tidak soal, yang penting pasti, hidup bahagia dan membahagiakan, baik di dunia maupun di akhirat.*