Dalam balutan langit senja yang merona jingga, Irvan, seorang sarjana muda yang haus akan pengetahuan, berjalan menyusuri jalan setapak di pekarangan rumah Erwin. Erwin adalah seorang aktivis pergerakan senior. Setiap ucapan dan geraknya seperti memanivestasikan kekaguman pada pahlawan yang juga bernama Raden Ontowiryo.
Langkah mereka seakan menyatu dengan irama alam; tiap daun yang berguguran dan hembusan angin seolah mengisahkan cerita masa lalu yang mengkristal membentuk energi baru.
“Erwin,” ujar Irvan pelan sambil menatap ke kejauhan, “aku sering mendengar orang berkata bahwa hidup itu hanya tentang kenyamanan—menduduki jabatan, meraup uang, dan kemana-mana mudah. Namun, bukankah ada sesuatu yang lebih dalam dari itu?”
Erwin menoleh, matanya yang tajam berbinar penuh kenangan dan keyakinan.
“Tentu saja, Irvan. Pernahkah kau merenung mengapa nama-nama tertentu tetap terukir di benak masyarakat? Sosok-sosok itu tidak hanya hidup dalam buku sejarah, tetapi juga mengilhami banyak generasi.”
Nama yang Abadi dan Menginspirasi
Mereka berdua melangkah pelan menyusuri lorong kenangan, hingga akhirnya Erwin berkata dengan suara yang hampir menyeruak semangatnya.
Baca Juga: Bahagia Menikmati Proses Perjuangan
“Mari kita lihat putra dari Gusti Raden Mas Suraja. Ia adalah lambang perlawanan, sosok yang hidup di abad ke-19, tepatnya di tahun 1800-an. Di tengah kekacauan zaman, antara tahun 1825 hingga 1830, ia memimpin perang Jawa. Bukan hanya sebagai pertempuran fisik, tetapi sebagai pernyataan bahwa bangsa ini tidak akan pernah tunduk pada penjajahan.”
Irvan, yang mendengarkan dengan penuh kekaguman, menimpali, “Jadi, keberanian dan kepemimpinan beliau bukan sekadar soal pertempuran, tapi juga tentang semangat yang menyalakan revolusi—sebuah inspirasi bagi gerakan kemerdekaan kita.”
Erwin mengangguk pelan, wajahnya tersenyum seolah mengingat kembali masa-masa penuh perjuangan.
“Benar sekali. Sejarawan mencatat bahwa energi kebaikan yang terpancar dari tindakan Pangeran Diponegoro tak pernah hilang,” ujarnya.
“Seperti bara api yang terus menyala, meski angin zaman menerpa, ia mengobarkan semangat perlawanan bagi setiap insan yang percaya pada keadilan. Sedangkan kebanyakan manusia zaman sekarang lebih terfokus pada urusan duniawi—makanan, jabatan, dan kenyamanan pribadi—tanpa menyadari bahwa ada nilai-nilai luhur yang bisa membentuk masa depan,” sambungnya mengutarakan refleksi pemikirannya.
Padahal orang yang hanya sibuk memikirkan diri sendiri tidak akan berguna bagi masyarakat. Jangankan ketika mati, masih hidup saja sudah tak ada artinya bagi masyarakat.
Warisan Semangat
Dalam keheningan yang mengisi sela-sela kata, Irvan merasa seolah mendengar panggilan untuk meneruskan warisan semangat itu.
“Mungkin, jika lebih banyak orang mengingat kisah-kisah seperti ini, kita semua akan menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang memuaskan keinginan diri. Ada keberanian dan pengorbanan yang harus terus kita jaga, nilai-nilai yang melampaui waktu dan ruang,” ujarnya lirih, matanya memancarkan harapan.
Erwin tersenyum hangat, seakan memahami arti setiap kata yang diutarakan Irvan.
“Mari kita teruskan percakapan ini, Irvan. Bukan hanya sebagai kenangan masa lalu, melainkan sebagai pijakan untuk membangun masa depan yang lebih bermartabat. Karena setiap kebaikan yang kita tanam, bagaimanapun juga, akan tumbuh dan menginspirasi, seperti benih yang kita tanam di tanah subur hati bangsa ini.”
Di tengah bisu senja, dialog mereka menyatu dalam naskah kehidupan—sebuah kisah yang mengalir indah, mengingatkan bahwa semangat Pangeran Diponegoro tidak pernah padam.
Di sana, di antara deru angin dan bisikan pepohonan, terpatri janji untuk menjaga dan meneruskan nilai-nilai luhur yang telah mengubah arus sejarah.
Sebelum berpisah, Erwin mengingatkan Irvan tentang sosok sejarawan yang mengagumi Pangeran Diponegoro.
“Kamu tahu Peter Carey. Peter Carey terpesona oleh sosok Pangeran yang berakhlak baik, pemberani dan dekat dengan rakyat. Ia juga mengagumi semangat juangnya melawan penjajah Belanda. Jadi, kita punya pejuang yang tak pernah mau menyerah pada keadaan,” pungkasnya yang membuat Irvan tersenyum lebar dan segera ingin membuka buku-buku sejarah.*


