Sosoknya murah senyum dan bajunya selalu harum. Kemudian, gaya bicaranya khas orang Bugis, asing kudengar, tapi nyaman kurasakan. Itulah guruku, saat seperempat abad silam bertemu di serambi masjid. Pribadinya tenang, namun dalam kala memancarkan kalimat dengan lisan. Logis dan mudah untuk disalin.
Guru yang ikhlas, kata orang tuaku selalu memancarkan aura ketenangan. Selain itu, guru yang tulus juga mampu menjadikan nyaman hati siapapun untuk duduk lama dan senang beramal dengannya.
Seperti akar bunga yang mendapat siraman air, mengundang hati bergembira ria. Oleh karena itu, kehadirannya selalu memancarkan energi. Kekuatan yang membuat murid tumbuh dengan daun yang hijau, lebat dan bunga yang cerah dan segar.
“Ikuti kemanapun langkah guru yang seperti itu. Jangan pernah kau urug semangat mendampingi guru,” pesan ibuku tepat kala saya akan melangkahkan kaki meninggalkan rumah menuju pesantren.
Setahun berselang, guruku berkesempatan hadir, menemui ibu dan bapakku di kampungku. Di dalam rumah yang sangat sederhana, berbagai macam buah hasil kebun disantap dengan lahap oleh guruku. Sejak itu, guruku hafal jalan ke rumahku.
“Gurumu itu, ikuti. Jangan takuti. Dia pandai menghargai orang lain, baik dan kalau berkata-kata bagus,” kata Ibuku dengan berbisik kepadaku.
Membuka Jalan
Ibuku bukan peramal, tapi pengamal dzikir. Mungkin itu barokah, sehingga feelingnya sangat tajam.
Baca Juga: Ekspresikan Jiwa Perjuanganmu
Pria yang biasa kusapa Ustadz itu pun benar-benar menjadi pembuka jalan-jalan kebaikan untukku.
Ketika masuk SMA di Loa Kulu, ia memintaku untuk tak sebatas aktif belajar. Pelajar yang hanya belajar, pengalamannya kurang dan seringkali wajahnya kusam kalau bertemu permasalahan.
“Kumpulkan teman-teman, ajak buat kajian, berlatihlah memimpin dari sekarang,” katanya.
Benar kata guruku kala kecil ngaji di langgar (daerah Jawa Timur), siapa taat perintah guru, Allah akan membuka jalan kebaikan.
Tidak lama, saya berhasil menghimpun teman-teman dalam satu wadah kecil. Namanya KSI (Kelompok Studi Islam).
Jalan-jalan baru kembali guruku buka. Kali ini ia yang memintaku berangkat mengikuti Leadership Basic Training (LBT) Pelajar Islam Indonesia di Balikpapan. Berbagai pelajaran dan pengalaman baru pun berhasil kuhimpun dalam hati, membentuk cara berpikir bahkan membangun mentalitas.
Emas Tetaplah Emas
Suatu waktu, guruku mendatangiku di kantor Pesantren Hidayatullah Kutai Kartanegara. Ketika itu saya sedang membaca buku sejarah para pahlawan bangsa. Kubu penggerak perlawanan untuk Indonesia merdeka.
“Dari pahlawan itu, kamu bisa belajar. Bahwa orang yang teguh pada nilai, visi perjuangan, pasti akan bertemu kemenangan. Semua pahlawan kemerdekaan kita adalah orang-orang hebat. Punya habit unggul dalam setiap 24 jam. Mereka direndahkan oleh penjajah, tapi nama mereka tetap abadi dan membawa energi,” kata guruku, bernama Ust. Hamzah Akbar.
“Kalau kamu bisa seperti itu, maka itulah emas. Emas tetaplah emas. Walau orang buang dan kuburkan, ketika orang lain tahu ada emas di situ, ia pasti mengambilnya. Jadilah manusia emas dengan nilai dan cita-cita,” tegasnya kepadaku.
Sebuah nasihat yang menjadi bensin dalam tangki berpikirku.
Seperti ibu selalu berpesan, jadilah kuat, tapi bukan dengan arogansi. Kuatlah dengan iman, ilmu, mental dan amal. Itulah jalan menjadi manusia bernilai, laksana emas dalam kehidupan. Biar mahal orang akan tetap berani membayar.*