Home Hikmah Kunci Menjaga Hati di Tengah Maraknya Kemarahan dan Kekerasan
Kemarahan karena arogansi

Kunci Menjaga Hati di Tengah Maraknya Kemarahan dan Kekerasan

by Imam Nawawi

Di tengah derasnya arus informasi yang terus mengalir, berita tentang kemarahan, kekerasan, hingga tindakan pembunuhan sering kali membuat banyak orang gelisah.

Bagaimana tidak? Setiap hari, media dipenuhi dengan cerita-cerita tentang orang-orang yang mudah tersulut emosi, bahkan tak segan-segan mengeluarkan senjata untuk melukai sesama.

Putra, seorang anak muda yang baru saja lulus SMA, merasa heran. Mengapa manusia bisa begitu mudah kehilangan kendali atas dirinya?

Pertanyaan itu terus menggelayuti benak Putra hingga suatu siang ia bertemu dengan Pak Budi, guru agama yang murah senyum dan selalu memberi ketenangan bagi murid-muridnya.

Pertemuan singkat itu, yang berlangsung di mushola sekolah menjelang adzan Dhuhur, ternyata membawa pencerahan bagi Putra.

Sebuah Dialog yang Menginspirasi

Usai mengucap salam, Putra langsung menyampaikan isi hatinya kepada Pak Budi.

“Pak Budi, guruku, mengapa orang mudah marah, membunuh, dan menghina orang lain?” tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.

Pak Budi tersenyum hangat, lalu mengajak Putra masuk ke dalam mushola. Sambil menunggu kumandang adzan, ia mulai berbicara.

“Putra, manusia itu hakikatnya hamba. Rasulullah SAW sendiri pernah menyampaikan bahwa diri beliau adalah hamba. Bahkan dalam hal makan pun, Nabi SAW menjauhi sifat arogan. Mengapa? Karena beliau tahu, manusia mudah sekali menjadi pongah,” jelas Pak Budi dengan nada lembut namun penuh makna.

Putra mendengarkan dengan seksama. Ia tertegun, seolah-olah kata-kata itu menyentuh relung terdalam hatinya.

“Makanya kalau kamu melihat orang arogan, jangan stigma sosoknya. Kenali kenapa arogansi itu muncul. Nanti kamu akan tahu, bagaimana orang terjebak arogansi,” lanjut Pak Budi.

Kata-kata itu seperti cahaya yang menerangi pikiran Putra. Ia tersenyum, merasa mendapatkan jawaban atas kegelisahannya.

“Sudah, berwudhu dan siap-siap adzan, ya,” kata Pak Budi sambil menepuk bahu Putra dengan lembut.

Putra pun bergegas menuju tempat wudhu. Lalu mengumandangkan adzan.

Baca Juga: Mengapa Sikap Lemah Lembut itu Kekuatan

Hati Putra merasakan kedamaian yang luar biasa. Seolah-olah setiap ayat yang dikumandangkan menjadi pengingat bahwa menyadari diri sebagai hamba Allah adalah kunci untuk selamat dari kebutaan hati dan sikap sombong yang kerap memicu konflik.

Hikmah di Balik Kisah

Cerita singkat antara Putra dan Pak Budi ini mengajarkan kita satu pelajaran penting: kesadaran akan posisi kita sebagai hamba Allah dapat menjadi penyeimbang dalam kehidupan.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Dan tiadalah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Ayat ini mengingatkan kita bahwa tujuan utama hidup adalah untuk beribadah, bukan untuk berbangga-bangga atau bersikap arogan.

Namun, di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, banyak orang lupa akan identitas dasar mereka sebagai hamba.

Mereka lebih fokus pada pencapaian duniawi, sehingga rentan terjebak dalam sikap pongah dan mudah marah. Ketika ego berbicara lebih keras daripada nurani, maka konflik dan kekerasan pun tak terhindarkan.

Pesan dari Pak Budi juga mengingatkan kita untuk tidak terburu-buru menghakimi orang lain.

Sebab-Sebab Penguat Arogansi

Sebaliknya, kita harus berusaha memahami akar penyebab perilaku negatif tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh psikolog, banyak tindakan agresif dilatarbelakangi oleh tekanan emosional, trauma, atau ketidakmampuan mengelola stres.

Dengan memahami hal ini, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi perilaku orang lain, sekaligus menjaga hati kita agar tetap tenang.

Marilah kita renungkan kembali posisi kita sebagai hamba Allah. Kesadaran ini bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani kehidupan sehari-hari dengan rendah hati dan penuh empati.

Saat kita mampu menahan amarah, mengendalikan ego, dan menghormati sesama, kita sedang membangun perdamaian, baik untuk diri sendiri maupun untuk lingkungan sekitar.

Seperti yang dialami Putra, kadang-kadang kita butuh sebuah dialog sederhana untuk membuka mata hati. *

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment