Mas Imam Nawawi

- Kisah

Api dalam Puisi Muhammad Iqbal

Ketika siang yang terik itu begitu menyengat, teman-teman sedang makan bersama. Tidak lama, mereka harus masuk ke dalam ruangan. Melanjutkan agenda diskusi dalam gelaran Leadership Training Center (LTC) Pemuda Hidayatullah Jawa Tengah di Kudus (2/10). Sebagian dari bahasan yang jadi ulasan ialah api. Tepatnya api dalam puisi Muhammad Iqbal. “Bungkus dirimu dalam api, dan jadilah […]

Api dalam Puisi Muhammad Iqbal

Ketika siang yang terik itu begitu menyengat, teman-teman sedang makan bersama. Tidak lama, mereka harus masuk ke dalam ruangan. Melanjutkan agenda diskusi dalam gelaran Leadership Training Center (LTC) Pemuda Hidayatullah Jawa Tengah di Kudus (2/10). Sebagian dari bahasan yang jadi ulasan ialah api. Tepatnya api dalam puisi Muhammad Iqbal.

“Bungkus dirimu dalam api, dan jadilah seorang Ibrahim. Jangan tunduk kepada apa pun kecuali Kebenaran. Ia akan menjadikanmu seekor singa jantan.”

Puisi ini merupakan kekaguman seorang Iqbal kepada heroisme Nabi Ibrahim alayhissalam terhadap iman dan kebenaran.

Pria kelahiran Sialkot, Punjab, India, pada 9 Oktober 1877 itu memang terkenal sebagai penyair, selain juga sebagai politikus dan seorang filsuf Islam.

Baca Juga: Fungsi Pengalaman Religius

Nah, kenapa ulasan siang yang panas itu sampai ke Iqbal? Tidak lain karena tema yang terjadwal tentang Filsafat Dasar, sebuah materi yang saya bawakan dalam kesempatan itu.

Gugah Pikiran

Materi Filsafat Dasar tentu bukan untuk menyetujui pikiran para pemikir Barat yang trauma dengan sejarah masa kegelapan Eropa bersama Gereja.

Justru materi ini coba menjernihkan apa yang sebenarnya layak secara logis untuk kita sebut sebagai filsafat berdasarkan makna kata dari filsafat itu sendiri, yakni cinta kebijaksanaan.

Filsafat dalam perjalanan Eropa memang berhadap-hadapan dengan agama (baca Gereja), karena memang sejarah mereka gelap dalam hegemoni otoritas Gereja. Jadi, wajar jika Barat memandang filsafat berarti tidak butuh agama.

Jika kembali pada arti cinta kebijaksanaan, maka Islam memberikan kesempatan bahkan tantangan agar manusia menajamkan akal dan pikirannya dengan landasan iman.

Jadi, filsafat yang diulas pada forum itu adalah tentang bagaimana menjadi insan ulul albah, yang memadukan pikir dengan dzikir.

Jadi, dalam materi ini kita melihat filsafat sebagai cara mengamalkan ibadah dalam bentuk berpikir, sehingga mampu menyaring pemikiran dari peradaban lain yang tidak relevan dengan nilai-nilai iman.

Seperti kata Gus Hamid (Prof DR Hamid Fahmi Zarkasyi) kita tidak boleh seperti cendekiawan atau pemikir yang mengimpor pemikiran Barat tanpa preoses keilmuan memadai, bahkan beranggapan yang dari Barat tak perlu dicerna secara kritis dan seakan-akan itu pemikiran tanpa cacat. Padahal tidak demikian adanya.

Islam adalah agama yang mendorong umatnya mengamalkan perintah membaca (Iqra’ Bismirabbik), melakukan pendalaman, penelitian, pengkajian dan pendalaman terhadap segala hal yang memang rasio dan indera manusia bisa menjangkaunya.

Membedah Api Iqbal

Nah, kemudian sampailah pada bahasan tentang ketajaman logika Nabi Ibrahim yang akhirnya dikemas oleh Iqbal dengan bahasa yang apik, singkat, namun utuh, yakni puisi tentang sosok Nabi Ibrahim, yang justru “senang” berselimut api.

Seperti biasa, saya suka melibatkan teman-teman menguraikan pikiran dan gagasannya. Maka kuberikanlah mic kepada seorang sahabat dari Salatiga, Alwi.

Dengan tenang ia menjawab, “Bagi saya api yang Iqbal maksud itu adalah semangat, cita-cita, dan perjuangan. Anak muda itu harus masuk dalam kesadarannya api semangat, api perjuangan. Karena hanya anak muda yang paling mungkin terbakar oleh api semangat,” ungkapnya.

Karena forum diskusi itu menerapkan formasi duduk leter U, maka kupersilakan sisi kanan dan kiri.

Sisi kanan ada seorang sahabat dari Pati, Khairul Huda. Ia mengatakan, api itu adalah rintangan, masalah dan tantangan.

“Jadi, api itu kata Iqbal menghendaki kita sebagai pemuda tidak takut dengan rintangan, kalau perlu masuk ke ruang-ruang rintangan supaya tidak terperangkap zona nyaman. Jadi, kalau pemuda dengan idealismenya bertemu rintangan, maka harus senang, karena di situ ia mendapat medan perjuangannya,” urainya.

Kemudian sisi kiri, ada peserta dari Semarang, Riswan, namanya. Ia mengatakan, bahwa kecerdasan logika atas dasar iman itu sangat penting hadir dalam jiwa seorang pemuda.

Baca Lagi: Negara Bahagia

“Seperti Ibrahim, ia cerdas, berani dan logika tentang siapa Tuhan tak mampu ia irespon secara memadai apalagi rasional oleh Namrudz. Sebagai pemuda, kita harus belajar banyak kepada Nabi Ibrahim,” ulasnya.

Akhirnya, forum yang berjalan usai makan siang dengan cuaca yang terik berhasil menjadikan semua mata terbuka dan wajah berseri-seri. Seakan-akan kita baru saja bertemu Iqbal dan sangat antusias terhadap iman dan Islam dengan lebih sungguh-sungguh lagi. Insha Allah.*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *