Sore hari seorang teman yang juga anak didik saya kala kuliah di STIE Hidayatullah Depok datang ketempat istirahat saya sementara, sebelum melanjutkan perjalanan ke suatu kota di Jawa Tengah. Dia membawa buku yang di dalamnya mengulas ukuran negara bahagia.
Buku itu berjudul “Dinamika Pelaksanaan Syariah, Kelemagaan Ekonomi Syariah dan Pengadilan Agama” karya beberapa penulis, seperti Widjajanti M. Santoso, dkk.
Baca Juga: Kebersamaan dalam Perjuangan
Di dalam buku itu dituliskan bahwa sejak 1990 pencapaian kemajuan suatu negara tidak lagi dilihat dari Growth Domestic Product (GDP) tetapi telah berubah kepada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) alias Human Development Index (HDI).
Jika timbangannya adalah IPM maka kriteria negara bahagia menjadi sangat jelas dan terang.
“HDI mengukur distribusi pada setiap kelompok masyarakat dalam berbagai dimensi pembangunan manusia seperti kesehatan, pendidikan, pendapatan, gender, ketidakadilan (inequality), kemiskinan, pekerjaan, berkelanjutan lingkungan dan berkelanjutan sosial ekonomi, termasuk di dalamnya tentang panjang umur atau harapan hidup masyarakat (life expectancy).
Dituliskan juga di buku tersebut, bahwa di tahun 2015, HDI menempatkan Indonesia pada posisi 113 dari 188 negara dan wilayah.
Kemudian ketidakadilan, masih dirasakan oleh sebagian masyarakat (UNDP 2017).
Tugas Kaum Muda
Uraian di atas sekalipun sepintas sudah dapat menjadikan kaum muda tergerak intelektual dan moralnya untuk menjawab problem riil bangsa dan negara ini.
Langkah pertama ialah dengan menjadikan media sosial sebagai sarana membangun kesadaran diri kaum muda dan bangsa secara umum untuk lebih cerdas, kritis dan progresif di dalam segala lini kebaikan.
Kedua, mendorong pemerintah dan lembaga negara untuk konsen pada pembangunan manusia seutuhnya. Bukan main-main isu yang sebenarnya masyarakat tidak butuh, apalagi mengerti.
Ketiga, secara mandiri, gunakan waktu luang untuk peningkatkan kapasitas dan produktivitas diri.
Misalnya stalking media sosial, boleh. Asal ada hasil dalam bentuk pengamatan yang dihimpun, sehingga bisa memotret realitas.
Berpikir dan Bekerja
Islam sebagai agama tidak perlu merujuk pada peradaban apapun hari ini, Barat atau Timur (China, Jepang dan lainnya).
Cukup melihat bagaimana Rasulullah SAW memberikan keteladanan.
Dari sejarah itu kita temukan bahwa Islam menghendaki umatnya mampu berpikir dan sekaligus bekerja keras untuk maju.
Sejarah bangsa ini pun menyediakan keteladanan itu. Seperti Kaum Paderi di bawah komando Tuanku Imam Bonjol.
Mereka bukan saja pedagang ulung, tetapi juga sosok yang mampu menginisiasi perubahan sosial, tampil memberikan perlindungan dan pengayoman kehidupan ekonomi baru.
Dengan demikian, fokus diskusi dan dialog umat, di ruang nyata maupun media sosial adalah bagaimana ikut berkontribusi mewujudkan negara yang bahagia.
Alhamdulillah di Indonesia mayoritas beragama Islam, sehingga jiwa altruisme terwadahi melalui syaraiat zakat, infaq dan sedekah.
Baca Lagi: Menguatkan Daya Baca
Kalau ini digerakkan, dihimpun dan dikelola secara amanah, profesional dan profetik, insha Allah perwujudan peningatan HDI Indonesia adalah hal yang bisa sama-sama kita wujudkan segera.
Pertanyaannya, apakah sudah ada kesadaran dan kemauan akan hal ini?*