Iman kata yang paling sering kita dengar bahkan mungkin kita ucapkan. Hal itu memang karena iman memiliki peran penentu, yakni kunci keberhasilan. Tetapi, belum banyak yang bisa merasakan dahsyatnya iman.
Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi mengatakan bahwa kunci kemenangan umat Islam ada pada keimanannya bukan keislamannya (baca buku “Hamid Fahmy Zarkasyi Di Mata Guru, Sahabat, dan Murid”).
Lebih lanjut, masih dalam buku itu ditegaskan, “Jika iman kaum Muslim kuat, mereka tidak akan dikuasai dan dijajah oleh non-Muslim.”
Dari mana dasar ungkapan itu? Dari ayat ke-141 Surah An-Nisa yang menerangkan bahwa tidak akan ada jalan bagi orang kafir mengalahkan orang-orang yang beriman.
Baca Juga: Hidup Bahagia dan Membahagiakan
Dengan demikian, iman memang harus benar-benar kita pahami dan mengakar di dalam hati. Hanya dengan situasi dan kondisi seperti itulah, iman akan memunculkan energinya. Seperti gemar amal shaleh, terdepan membantu sesama yang memerlukan dan tidak mengutamakan sesuatu kecuali untuk akhirat.
Periksa
Pada akhirnya kita semua bisa mengambil kesimpulan, bahwa iman memang bukan perkara biasa. Oleh karena itu definisi iman tidak berhenti pada pengakuan, tetapi pembuktian berupa amal, mulai dari hati, ucapan dan tindakan.
Dalam kata yang lain, kita memang perlu memeriksa iman di dalam dada. Benarkah itu iman yang punya energi menggerakkan. Atau iman ini masih letoy, belum atau bahkan tidak berdaya.
Jangan-jangan iman ini masih seperti pengakuan orang Arab Badui di masa Nabi, seperti terkandung dalam ayat ke-14 Surah Al-Hujurat. Lisannya mendeklarasikan hati beriman, tetapi Allah dan rasul-Nya memberi dorongan agar berkata ber-Islam, belum beriman. Karena iman memang tidak sama dengan ber-Islam.
Kalau beriman, kata Gus Hamid harusnya seseorang mudah mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam amal-amal kebaikan.
Pesan Buya Hamka
Buya Hamka dalam bukunya “Kesepadanan Iman dan Amal Shaleh” menuliskan, “Bersorak-sorak menyatakan kepercayaan, tetapi tidak diikuti oleh bakti dan bukti adalah suatu pendustaan jiwa.”
Ungkapan itu menunjukkan bahwa iman memang harus tumbuh. Seperti pepohonan, iman itu akar, semakin kuat akar semakin kencang pertumbuhan yang terjadi.
Islam, kata Buya Hamka, menghendaki setiap jiwa mampu memadukan iman dan penyerahan diri dalam bingkai aqidah dan ibadah. Hal itu akan membentuk kepribadian yang sangat aktif dalam ketaatan dan protektif terhadap segala keburukan.
Puncaknya Buya Hamka memberikan petaruh. “Kalau kita percaya kepada Allah, tentu kita cinta kepada-Nya, tentulah kita sudi berkorban menuruti apa yang dikehendaki-Nya.”
Sebagai bekal refleksi, kita sudah bisa bertanya, apakah iman yang ada dalam dada ini benar-benar menyala dan menerangi. Atau masih redup dan karena itu perlu kita pupuk, siram dan berikan nutrisi?
Pada akhirnya kita bisa memahami dengan jelas, mengapa dahulu Nabi Muhammad SAW dan para sahabat mampu meraih banyak kemenangan, bukan semata karena kekuatan fisik, tapi lebih karena kedahsyatan iman. Karena iman melahirkan etos jihad, etos ilmu dan etos kepemimpinan serta etos peradaban.*