Mas Imam Nawawi

- Kisah

Pesan Utama dari Ust. Asih Subagyo

Ust. Asih Subagyo telah menuntaskan tugasnya di dunia fana ini. Kami bersedih dan berduka. Namun kita harus ingat dan sadar akan pesan-pesan dari beliau. Sekitar tiga tahun lalu, saya sempat berbincang dengan Ust. Asih dalam podcast bertema “50 Tahun Hidayatullah. Akan Terus Berkembang, Jika…?” Menghadapi 50 tahun ke-2 Hidayatullah, Ust. Asih mendorong pentingnya transformasi berkelanjutan. […]

Pesan Utama Ust. Asih Subagyo

Ust. Asih Subagyo telah menuntaskan tugasnya di dunia fana ini. Kami bersedih dan berduka. Namun kita harus ingat dan sadar akan pesan-pesan dari beliau.

Sekitar tiga tahun lalu, saya sempat berbincang dengan Ust. Asih dalam podcast bertema “50 Tahun Hidayatullah. Akan Terus Berkembang, Jika…?”

Menghadapi 50 tahun ke-2 Hidayatullah, Ust. Asih mendorong pentingnya transformasi berkelanjutan. Halaqah-halaqah kecil adalah media strategis transformasi itu berjalan dengan baik.

Role Model

Kemudian Ust. Asih memberikan kita wejangan bahwa Hidayatullah punya role model. “Ada orang yang bisa dicontoh. (Juga) ada yang bisa diteladani,” katanya.

Baca Juga: Bersemangatlah dalam Berkarya

Artinya kader Hidayatullah tidak perlu tolah-toleh, fokus memahami dan meneladani apa yang jadi kiprah perjuangan Ust. Abdullah Said.

Halaqah-halaqah yang berjalan, tegas Ust. Asih harus mampu sampai pada kondisi menciptakan kultur ibadah, kinerja dan muamalah yang kokoh antar sesama kader.

Optimis

Ust. Asih Subagyo sangat optimis masa depan Hidayatullah cemerlang.

“Kecuali,” katanya. “Kecuali kalau ini (jati diri) hilang. Maka saya sangat berkeyakinan. Kalau ini tetap bisa kita laksanakan, maka insha Allah, kekhawatiran seperti itu akan tereliminir,” tegasnya.

Mari kita perhatikan pesan Ust. Asih. Pernyataan “Kecuali kalau ini (jati diri) hilang” mengindikasikan adanya syarat penting. Syarat tersebut adalah eksistensi dan keberlanjutan “jati diri”.

Jati diri dalam konteks ini bisa merujuk pada identitas, prinsip, nilai-nilai, atau karakteristik fundamental yang kita yakini penting.

Jika unsur ini hilang, maka keyakinan akan hilangnya kekhawatiran juga gugur. Ini menunjukkan bahwa jati diri adalah fondasi atau prasyarat bagi terwujudnya kondisi yang diinginkan.

Kemudian, kalimat Ust. Asih: “Kalau ini tetap bisa kita laksanakan, maka insha Allah, kekhawatiran seperti itu akan tereliminir” menjelaskan konsekuensi positif dari tetap dipertahankannya jati diri.

Kata “insha Allah” menunjukkan harapan dan keyakinan, bukan kepastian mutlak, bahwa kekhawatiran yang ada akan hilang. Hal ini logis karena mempertahankan jati diri yang positif dan konstruktif secara rasional akan mengurangi potensi munculnya masalah atau kekhawatiran yang berkaitan dengan hilangnya jati diri tersebut.

Dengan kata lain, pesan yang Ust. Asih sampaikan adalah pentingnya menjaga dan melestarikan “jati diri” agar terhindar dari kekhawatiran tertentu. Tanpa jati diri yang kuat, kekhawatiran tersebut berpotensi muncul atau bahkan menjadi kenyataan. Terimakasih Ust. Asih, ampunan dan rahmat Allah semoga selalu menyertai Ust. Selamat jalan mujahid.*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *