Hujan datang lagi. Musimnya kembali. Langit Jabodebek dan banyak wilayah Indonesia, nyaris setiap hari, menumpahkan air. Banjir pun kembali mengepung. Genangan mengancam. Lalu, apa yang bisa kita renungkan?
Apakah hujan satu-satunya penyebab? Atau ada kesalahan pada diri kita?
Hujan adalah rahmat, ia berkah dari Allah SWT. Hanya perilaku manusia yang menjadikan buliran lembut itu berubah menjadi banjir. Air hujan tak mampu menembus bumi, terperangkap dalam kubangan.
Seiring waktu, hujan itu semakin membesar, kemudian meluap, menghancurkan apa pun yang dilaluinya. Akibatnya, rumah-rumah hancur, kendaraan hanyut terbawa arus, dan manusia terpaksa berlari mengungsi.
Pada kondisi ini kita memahami bahwa pasti ada yang salah. Ada tata kelola lingkungan yang abai. Manusia kerap lupa menjaga alam.
Bercermin
Mari bercermin. Sudahkah kita sungguh peduli pada lingkungan? Atau malah ikut andil merusaknya?
Lihatlah sampah yang berserakan di sungai-sungai. Perhatikan hutan yang gundul tanpa reboisasi. Pandanglah beton-beton yang mencengkeram bumi, mengurangi resapan air.
Banjir bukan sekadar genangan air. Ia merenggut harta benda. Bahkan lebih dari itu, ia juga merampas nyawa. Akibatnya, kerugian materi sulit dihitung, dan trauma psikologis pun membekas di benak para korban.
Dalam kata yang lain, ini bukan sekadar persoalan musim. Melainkan tentang keberlanjutan kehidupan.
Berbenah
Alam telah memberi sinyal kuat. Sudah saatnya kita berbenah diri.
Oleh karena itu kita perlu berpikir. Memulai upaya memperbaiki tata kelola lingkungan yang selama ini boleh jadi kita lalaikan.
Baca Juga: Bersemangatlah dalam Berkarya
Perbanyak ruang terbuka hijau di perkotaan. Kurangi polusi dan emisi gas buang. Bijaklah dalam mengelola sampah.
Ini bukan hanya tugas pemerintah. Setiap kita punya andil dan tanggung jawab.
Kita dapat memulai dari hal-hal kecil di sekitar kita. Membuang sampah pada tempatnya. Menanam pohon di pekarangan rumah. Menghemat penggunaan air sehari-hari.
Pada saat yang sama, kita juga penting memperbaiki akhlak, terutama akhlak kepada alam, kepada sesama. Sebab pada masa Nabi Nuh banjir datang memang sebagai hukuman kepada masyarakat yang zalim.
“Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah, dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan. Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas (kapal) yang terbuat dari papan dan pasak. (QS. al-Qamar ayat 11-13).
Bumi ini adalah rumah kita bersama. Jika ia rusak, kita semua akan merugi. Kita harus ingat bahwa manusia adalah khalifah Allah, mesti amanah dalam menjaga lingkungan.
Dengan demikian, saatnya kita jaga alam dengan sepenuh hati. Demi masa depan yang lebih baik bagi anak cucu. Demi keberlangsungan umat manusia di muka bumi.
Jadi kita harus berbenah, berubah menjadi lebih baik. Sebelum akhirny terlambat dan penyesalan datang menghantui.*