Beberapa teman mengadu, “Bang saya ingin bisa menulis buku, tapi kok susah ya?” Saya tersenyum lalu memberikan jawaban yang mengundang teman itu berpikir. “Bersemangatlah dalam berkarya.”
Pohon berbuah tanda akar tangguh
Manusia berkarya bukti punya sungguh
Mengisi waktu penuh teguh
Meniti hidup tanpa keluh
Jadi semangat itu seperti mentari, tak pernah dan tak boleh padam menyinari bumi. Konsisten dan disiplin, sepanjang kehidupan, terus menyapa bumi setiap pagi dari generasi ke generasi.
Berkarya layaknya tumbuhan berproses dan semakin besar, kuat dan rindang daunnya. Ia memerlukan waktu. Tak bisa instan, seperti kehendak khayalan.
Jadi, semangat berkarya artinya kita harus menghargai proses, bukan hanya hasil akhir.
Setiap langkah dalam berkarya, termasuk kegagalan dan kesuksesan, adalah bagian dari perjalanan yang berharga. Laksana pupuk dalam tanah, memberi nutrisi bagi akar kemajuan.
Baca Juga: Keuntungan Jiwa yang Menikmati Kesunyian Malam
Jadi kalau ada rasa susah dalam berkarya, selamat! Anda di jalan yang benar. Dengan catatan tetap tegar, bukan malah bubar (niat dan cita-citanya).
Kasus Anak Lulus SMP
Belum lama ini saya mendapat amanah mengajari anak yang baru lulus SMP belajar menulis.
Dalam waktu tertentu, saat sinar mentari masih hangat, saya memanggil anak itu. “Ayo kita memulai belajar menulis.”
Anak itu mengangguk. Ia pun mengambil buku tulis dan sebuah pena. Hampir tiga puluh menit berlalu, saya meninjaunya. Ternyata kertas itu masih kosong. Tak satupun ada goresan pena, walau sebesar titik.
Tak ingin langsung terkesan menggurui, saya meminta dia membaca buku karya Kang Maman: “Aku Menulis Maka Aku Ada.”
Anak itu lalu menggoyangkan penanya. Dan, setelah selesai, saya melihat.
“Kita berlama-lama merenungi kertas kosong ketimbang menuangkan pikiran dan perasaan di atas kertas itu”.
Saya melihat anak itu dalam-dalam. Ia tersenyum dan berkata. “Saya telah melakukan apa yang ditulis oleh Kang Maman. Lama memandangi kertas tapi tak berhasil menulis sedikit pun”.
Bahan Baku
Menulis sama dengan memasak. Apa yang mau kita masak butuh bahan baku. Mau masak nasi goreng, minimal punya nasi dan minyak goreng.
Baca Lagi: Bincang Problem-Problem Menulis dengan Mahasiswa STAIL
Begitu pun menulis. Kalau mau lancar menulis kita harus banyak membaca.
“Kamu tidak akan bisa menulis dengan baik kalau kamu tidak suka membaca,” begitu Kang Maman menegaskan di dalam bukunya itu.
Jadi, siapa mau menulis, tetapi tidak suka membaca sama dengan orang yang ingin memasak nasi, tapi beras tidak punya. Bisa kita bayangkan, bukan?
Jangan Berhenti
Tetapi kalau kita cermati, urusan apa yang tidak berhadapan dengan tantangan?
Mau menulis kadang inspirasi buntu. Banyak urusan, tidak punya waktu, hingga tidak sempat membaca. Jika semua alasan itu membuat langkah kita menulis terhenti, maka seperti mobil yang tidak lagi melaju, apakah akan sampai pada tujuan.
Dan, soal menulis, lebih simpelnya adalah soal niat. “Kalau kita ingin menulis maka kita akan bisa menulis. Seperti orang yang ingin ke Bandung, ia pasti mencari cara sampai ke Bandung,” kata seorang dai yang aktif menulis buku khutbah.
Akan tetapi kalau kita tidak punya niat, berhenti berusaha, maka bagaimana kita akan sampai dan bisa memiliki keahlian menulis dan masih berharap bisa menghasilkan karya?
Pepatah lama mengajarkan kita, “Berakit-rakit ke hulu, berenang ketepian. Susah-susah dahulu, baru kemudian, bersenang-senang”.
Peluklah kesulitan itu seperti bantal guling, niscaya engkau akan nyaman dalam membangun mimpi. Dan, buanglah rasa ingin santai seperti sampah dari makanan. Maka kita akan sehat jiwa dan raga dan hidup bermakna penuh karya.