Mas Imam Nawawi

- Artikel

Mengapa Manusia Tidak Bahagia?

Kita tahu, pertanyaan paling lawas dalam perjalanan manusia hidup adalah: mengapa manusia tidak bahagia. Secara umum orang tidak bahagia karena ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Ketika kita membangun harapan yang ideal—baik itu tentang karier, hubungan, atau hidup kita sendiri—kita secara tidak langsung menetapkan standar yang mungkin sulit atau bahkan tidak mungkin kita capai.  Momen-momen […]

Mengapa Manusia Tidak Bahagia?

Kita tahu, pertanyaan paling lawas dalam perjalanan manusia hidup adalah: mengapa manusia tidak bahagia. Secara umum orang tidak bahagia karena ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Ketika kita membangun harapan yang ideal—baik itu tentang karier, hubungan, atau hidup kita sendiri—kita secara tidak langsung menetapkan standar yang mungkin sulit atau bahkan tidak mungkin kita capai. 

Momen-momen di mana kita berhadapan dengan realitas yang tidak sejalan dengan bayangan tersebut seringkali menjadi sumber kekecewaan. Misalnya, seseorang mungkin berharap mendapat promosi di tempat kerja, tetapi ketika hal itu tidak terjadi, rasa tidak bahagia muncul karena realitas tidak memenuhi ekspektasi. 

Begitu pula dalam hubungan, kita berharap pasangan atau keluarga akan selalu sempurna, padahal kenyataannya setiap orang memiliki kekurangan. Perbedaan antara apa yang kita inginkan dan apa yang kita dapatkan inilah yang menjadi akar dari ketidakbahagiaan.

Mengelola Ekspektasi

Untuk mengatasi ketidakbahagiaan ini, penting bagi kita untuk menyadari dan mengelola ekspektasi. 

Kebahagiaan bukan tentang hidup yang sempurna tanpa masalah, tetapi tentang kemampuan kita untuk menerima kenyataan apa adanya. Dan, itu butuh kemampuan jiwa kita tampil sebagai pengendali.

Kebanyakan orang melepaskan kemampuan mengendalikan (kontrol) dalam hatinya, sehingga gagal menanggulangi tekanan. Kemudian gagal mengisi hari dengan produktivitas. Lebih jauh semakin tidak kontributif dalam kehidupan sesama.

Jadi daripada terus-menerus mengejar harapan yang mungkin tidak realistis, akan lebih baik jika kita belajar untuk menghargai apa yang sudah kita miliki. 

Dengan demikian, kita dapat mengubah fokus dari “apa yang seharusnya terjadi” menjadi “apa yang sedang terjadi.” 

Dengan menyesuaikan harapan agar lebih realistis dan berfokus pada *asa syukur, kita dapat mengurangi kesenjangan antara harapan dan kenyataan, sehingga membuka jalan menuju kebahagiaan yang lebih otentik dan berkelanjutan.

Perkuat Semangat Mencapai Tujuan

Selain itu aspek yang sangat menentukan untuk mendapat hidup bahagia adalah memperkuat semangat dalam mencapai tujuan.

Saya pernah melihat sebuah konten Youtube short yang menunjukkan sikap beberapa tikus yang berbeda dengan perlakuan yang tidak sama. Kelompok tikus pertama dimasukkan kedalam toples berisi air dan mereka hanya mampu berenang selama 15 menit, kemudian mati.

Kelompok tikus kedua juga dimasukkan kedalam toples berisi air, namun pada menit ke-14 diambil lalu dikeringkan dan diberi makan roti. Sehari kemudian tikus itu kembali dimasukkan ke dalam toples yang sama. Mengejutkan hasilnya, tikus itu mampu berenang selama 60 menit. 

Makna dari eksperimen itu katanya adalah orang yang punya harapan akan punya usaha yang ulet dan punya peluang hidup lebih lama. Sedangkan orang yang tak lagi punya harapan, terus berselimut kecewa, hidup tidak bahagia, akan lebih cepat patah arang dalam mengarungi kehidupan.

Jadi, perkuat semangat untuk mencapai tujuan. Berharaplah kepada Allah SWT, insya Allah bahagia akan tiba. Kapan bahagia tiba, saat hati kita sehat dan mental kita bisa mengontrol situasi eksternal dengan sangat baik. Sebagaimana seorang master kungfu yang bertemu arogansi preman jalanan yang tak menguasai ilmu bela diri. Ia tetap tenang, meski tentu tetap harus beradu otot.*

Mas Imam Nawawi