Setiap mukmin lahir dengan tanggung jawab besar, termasuk perintah untuk membaca sebagaimana termaktub dalam surah Al-Alaq. Perintah “iqra” ini bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan juga bentuk ibadah yang mendekatkan manusia kepada Allah. Semakin terasa harus kita lakukan pada era digital sekarang. Kita harus tekun membaca, berpikir dan berdakwah.
Secara prinsip kita memahami bahwa membaca membuka pintu ilmu pengetahuan. Kemudian juga membimbing kita memahami diri, lingkungan, dan Allah SWT.
Di era digital, membaca dan menulis banyak orang lakukan di media sosial, platform utama interaksi manusia modern.
Sayangnya, tidak semua konten di media sosial mendatangkan manfaat atau mendidik. Karena itu, seorang mukmin harus bijak memanfaatkan media sosial untuk menambah ilmu dan menyebarkan kebaikan.
Melalui pendekatan yang tepat, media sosial dapat menjadi alat dakwah efektif yang relevan dengan zaman.
Ibnu Al-Haytham
Inspirasi juga datang dari sejarah peradaban Islam, seperti penemuan kamera oleh ilmuwan Muslim Alhazen (Ibnu Al-Haytham). Ia mengembangkan teori cahaya dan optik, menjadi dasar teknologi modern.
Hal ini mengingatkan kita akan ajakan Al-Qur’an untuk berpikir, merenung, dan menemukan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya.
Umat Islam dulu menggunakan akal mereka untuk berkontribusi pada ilmu pengetahuan dan teknologi, sebuah tradisi yang harus terus hidup hingga kini.
Menghadapi akhir zaman, dakwah membutuhkan pendekatan relevan seperti pemanfaatan media sosial dan teknologi.
Baca Juga: Dunia Tempat Ujian, Apa Buktinya?
Dakwah bukan hanya soal menyampaikan nasihat, tetapi juga memberi teladan dalam memanfaatkan waktu dengan produktif.
Mengintegrasikan perintah iqra, pemahaman sejarah Islam, dan dakwah modern, seorang mukmin dapat menjalankan hidup bermakna.
Aktiflah
Kaum muda harus menekuni dakwah media sosial dengan konsisten, menyebarkan kebaikan di tengah derasnya arus informasi.
Konten positif yang kita buat dapat menjadi penyejuk dan penuntun bagi mereka yang salah arah.
Dengan dakwah digital, generasi muda dapat menjadi agen perubahan, sekaligus membangun peradaban yang lebih baik.
Melakukan itu semakin terasa urgensinya kalau melihat munculnya istilah “brain rot” (pembusukan otak) akibat manusia sering mengkonsumsi konten kualitas rendah.
Kompas.id menjelaskan bahwa penerbit Universitas Oxford (OUP) Inggris menyebutkan brain rot sebagai kondisi kemerosotan kondisi mental dan intelektual seseorang. Hal itu terjadi karena orang mengkonsumsi secara berlebihan konten daring yang remeh dan tidak menantang (baca buruk mutunya).
Kondisi itu semakin mendesak kaum muda aktif di media sosial dengan target dakwah. Tanpa itu, teknologi digital sepertinya akan mempercepat kehancuran peradaban manusia.*