Mas Imam Nawawi

- Artikel

Mengunyah Hikmah: Refleksi Islam dan Logika tentang Makan

Ketika sedang makan bersama teman, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, “Untuk apa kita makan?” Pertanyaan ini sering kali diabaikan, meski jawabannya memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Sebagian mungkin menjawab, “Agar hidup,” atau, “Supaya sehat.” Jawaban ini benar, tetapi jika kita renungkan lebih jauh, makan sebenarnya memiliki dimensi spiritual dan filosofis yang mendalam. Dalam […]

Mengunyah Hikmah

Ketika sedang makan bersama teman, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, “Untuk apa kita makan?” Pertanyaan ini sering kali diabaikan, meski jawabannya memiliki kedalaman makna yang luar biasa.

Sebagian mungkin menjawab, “Agar hidup,” atau, “Supaya sehat.”

Jawaban ini benar, tetapi jika kita renungkan lebih jauh, makan sebenarnya memiliki dimensi spiritual dan filosofis yang mendalam.

Dalam Islam, makan bukan sekadar kebutuhan fisik, melainkan juga sebuah perintah dari Allah SWT.

Perhatikan bagaimana ketika orang makan tanpa ketentuan, ia dapat senang, tapi penyakit segera menyerang.

Makan itu Perintah

Surah Al-Mu’minun ayat ke-51 menjadi bukti nyata. Allah SWT berfirman kepada para rasul: “Wahai para rasul! Makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah kebajikan.”

Baca Juga: Orientasi Makan

Ayat ini mengingatkan kita bahwa makan adalah sarana untuk menjaga diri, memenuhi hak tubuh, dan sebagai langkah awal menuju amal shaleh.

Pendekatan normatif dalam Islam menjelaskan bahwa makan bukanlah tujuan akhir, melainkan bagian dari ibadah.

Dalam setiap suapan, ada niat yang harus diperbaiki, kesadaran untuk menjaga kesehatan sebagai amanah, dan keinginan untuk memanfaatkan energi yang didapatkan untuk kebaikan.

Makan menjadi momen untuk mensyukuri nikmat Allah dan mengingat betapa besar perhatian-Nya terhadap kebutuhan manusia.

Dari sisi filsafat, pertanyaan “Untuk apa makan?” menggambarkan refleksi manusia terhadap tujuan hidup.

Aristoteles menyebutkan bahwa segala aktivitas manusia, termasuk makan, seharusnya mengarah pada eudaimonia—kebahagiaan yang bermakna.

Dalam konteks ini, makan menjadi sarana untuk mencapai potensi terbaik kita sebagai manusia: sehat jasmani, kuat rohani, dan produktif dalam kebaikan.

Halal dan Thayyib

Namun, Islam melangkah lebih jauh. Tidak hanya mencari kebahagiaan duniawi, Islam mengajarkan bahwa makan dengan niat yang benar, dari sumber yang halal dan thayyib (baik), mengarahkan kita pada ridha Allah SWT.

Makan tidak sekadar menjaga tubuh tetap hidup, tetapi juga memupuk energi untuk berbuat shaleh, seperti menolong sesama, menuntut ilmu, dan beribadah.

Jadi, lain kali saat kita makan, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah energi dari makanan ini akan saya gunakan untuk kebaikan?”

Dengan memahami bahwa makan adalah perintah Allah, setiap suapan akan terasa lebih bermakna. Karena di balik hal sederhana seperti makan, ada peluang besar untuk menjadi pribadi yang shaleh dan membawa manfaat bagi dunia.

Oleh karena itu setelah makan dalam Islam kita harus melangkah lebih maju beramal shaleh, termasuk berbagi kepada orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan makannya melalui sedekah.*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *