Mas Imam Nawawi

- Kajian Utama

Menyadari Diri Sebagai Manusia

Terkadang, walau pun diri sudah 25 bahkan sampai 40 tahun, tidak mudah memberikan definisi tentang manusia. Jadi, wajar kalau banyak orang bertindak kadang seakan seperti bukan manusia. Karena memang menyadari diri sebagai manusia bukan perkara mudah. Hal ini di antaranya tersaji dalam dialog saya dalam Leadership Training Center Pemuda Hidayatullah Rayon Suramadu, bahwa memahami diri […]

Menyadari Diri Sebagai Manusia

Terkadang, walau pun diri sudah 25 bahkan sampai 40 tahun, tidak mudah memberikan definisi tentang manusia. Jadi, wajar kalau banyak orang bertindak kadang seakan seperti bukan manusia. Karena memang menyadari diri sebagai manusia bukan perkara mudah.

Hal ini di antaranya tersaji dalam dialog saya dalam Leadership Training Center Pemuda Hidayatullah Rayon Suramadu, bahwa memahami diri apalagi menyadari diri sebagai manusia memang harus benar-benar dilakukan.

Umumnya orang memahami manusia sebatas spesies dengan populasi terbesar dengan persebaran paling luas dan dicirikan dengan kamampuan berjalan dengan dua kaki serta otak yang kompleks yang mampu membuat peralatan, budaya dan bahasa.

Baca Juga: Santri Hari Ini Tokoh Masa Depan

Tentu saja itu pemahaman manusia dari dimensi fisik belaka. Tidak perlu diuraikan, setiap orang memahami, bahwa manusia seperti itu.

Pernah seorang Muchtar Lubis coba memahami manusia dalam buku Manusia Indonesia, yang mengundang pro dan kontra beragam pihak.

Menurutnya, manusia Indonesia itu memiliki enam sifat buruk.

Pertama, munafik, dengan sikap dominan menuburkan perilaku ABS (Asal Bapak Senang).

Kedua, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya.

Ketiga, bersikap dan berperilaku feodal.

Keempat, percaya takhayul.

Kelima, artistik, berbakat seni.

Keenam, lemah watak atau karakternya.

Boleh jadi itu tidak seutuhnya benar, walau tak seutuhnya salah. Tetapi itu adalah buah dari pengalaman, observasi, atau bahkan bisa juga prasangka dan generalisasi.

Miskin Makna

Manusia akan mengalami kemiskinan makna ketika mereka hanya menganggap eksistensinya sebagai artifisial. Hanya pada aspek fisik belaka. Lupa akan hakikat, yakni jiwa itu sendiri.

Dan, itu adalah tanda dari berlangsungnya kehancuran peradaban.

Dalam buku Manusia dan Sejarah (Sebuah Tinjauan Filosofis) karya Yulia Siska, kehancuran itu muncul dengan tanda gelagat orang sulit kerja bakti. Mereka mulai enggan gotong royong pada hari libur. Itu semua terjadi karena hitung-hitungan material (uang).

Kesukarelaan tanpa ada imbalannya dengan uang semakin sulit kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Apakah Anda juga berpikir demikian?

Termasuk di era digital, banyak kita temukan orang mulai malas membaca dan berpikir mendalam.

Akibatnya media sosial kerapkali jadi lapangan adu mulut dan tak jarang berakhir di meja hijau.

Manusia dalam Islam

Dalam Islam, manusia bukan sebatas ruang gerak fisik dan kebiasaan dalam kehidupan empirik. Tetapi manusia secara esoterik, yakni jiwa.

Jadi, dalam Islam manusia itu jelas peran dan fungsinya. Pertama sebagai Abdullah, yang tugasnya ibadah kepada Allah.

Baca Lagi: Api Dalam Puisi Muhammad Iqbal

Kedua sebagai khalfiatullah, yang bertugas menegakkan kebaikan-kebaikan di dalam kehidupan bermasyarakat, seperti bersikap adil, cinta ilmu dan selalu berupaya untuk mendamaikan mereka yang bertikai dan bermusuhan.

Dan, kapan manusia bisa sadar dan mampu menjalani dua tugas utama itu, hanya ketika manusia mau membaca dengan konsep iqra’ bismirabbik.

Dengan demikian, jika kita ingin menyadari status pribadi sebagai manusia yang jelas dan tegas, maka iqra’ bismirabbik adalah gerbang. Pintu besar yang harus segera kita masuki secara sadar dan penuh kesungguhan.*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *