Jika sejauh ini kita mendapatkan diksi tentang menangkap makna, maka sebenarnya kita sangat butuh untuk bisa memberi makna. Menangkap makna mendorong kita punya pemahaman. Tetapi memberi makna meminta jiwa kita yang merasakan banyak hal dengan keteguhan nilai dalam dada. Orang yang mampu memberi makna akan teguh dalam sikap dan tindakan. Ia tak butuh validasi dari orang lain. Ia hanya butuh memastikan apa yang ia lakukan benar. Lebih dari itu juga bermanfaat dan bisa memberi makna.
Secara ideal, orang yang paling terampil dalam hal itu adalah Nabi dan Rasul. Itulah mengapa sikap, tindakan bahkan ucapan dari Nabi dan Rasul sebagiannya Allah abadikan di dalam Alquran. Sebaliknya, orang yang gagal memberi makna dalam hidupnya menjadi sosok yang harus kita pahami bukan untuk ditiru. Akan tetapi penting kita waspadai. Jangan sampai sikap dan cara berpikirnya justru menjelma dalam kesadaran kita sendiri.
Seperti sikap cinta dunia yang mematikan hati. Perilaku sombong yang membutakan hati. Serta, berbagai bentuk pengingkaran terhadap kebenaran. Cukuplah kisah Qarun menjadi gambaran, bahwa merasa harta adalah murni hasil kecerdasannya, adalah alamat untuk binasa. Bagaimana mungkin ada manusia mengaku dirinya hebat, sedangkan nafas saja, oksigen-nya Allah yang sediakan. Apalagi kalau bicara kesempatan hidup, kesehatan dan kecerdasan. Jika Allah tak memberikan izin itu ada pada diri seseorang, maka mustahil orang itu akan ada.
Makna yang Meneguhkan
Saat Nabi Yusuf akan dipenjara, ucapannya malah positif. “Penjara lebih aku sukai daripada mengikuti jalan orang-orang yang ingkar,” kira-kira begitu ucapan pria ganteng luar biasa itu.
Pertanyaannya, mengapa kalimat Nabi Yusuf seperti itu. Pertama, masuk penjara karena paksaan kekuasaan, sedangkan ia tidak bersalah, itu sangat terhormat.
Kedua, dengan masuk penjara, maka ia terbebas dari lingkungan buruk yang ada di dalam istana. Dengan begitu ia bisa semakin menjaga iman dan akhlak dalam kehidupannya.
Ketiga, hidup adalah soal siklus. Hari ini masuk penjara karena fitnah. Kelak bisa bebas dengan status terhormat. Hal itu mendalam dalam kesadaran Nabi Yusuf.
Perhatikan apa yang selanjutnya terjadi, Nabi Yusuf menjadi orang mulia, terhormat dan bermartabat. Semua tuduhan, fitnah dan framing buruk luntur dengan sendirinya.
Demikian satu contoh bagaimana cara kita memberi makna dalam kehidupan ini. Kesulitan dan badai kehidupan tak mengubah arah hidup kita. Tapi semakin meneguhkan visi dan nilai hidup yang baik dalam pandangan Allah SWT.
Jalan Bahagia
Dunia ini adalah ladang tempat menanam, termasuk kesempatan membangun jalan bahagia. Allah menegaskan bahwa bahagia itu nanti, saat kita di akhirat. Bukan sekarang kala masih dalam ujian hidup di dunia.
“Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.” (QS. Hud: 105).
Sebagian tafsir menjelaskan, bahwa bahagia dalam hal itu adalah bebas dari siksa neraka dan masuk ke dalam surga untuk selama-lamanya.
Dengan demikian, siapa pandai memberi makna, ia akan bahagia sekarang dan nanti kala bertemu hari pembalasan. Siapakah orang yang pandai memberi makna itu? Tidak lain adalah ulul albab. Yakni orang yang senantiasa berdzikir dan berpikir. Keduanya menghasilkan satu pemahaman bahwa semua yang terjadi dalam hidup ini tidak ada yang sia-sia.
Dalam kata yang lain, ia tak akan pernah menyesali masa lalu. Pun tidak akan mengkhawatirkan masa depan. Karena ia seutuhnya sadar semua dalam genggaman Allah SWT. Meski begitu itu bukan validasi bahwa malas itu boleh. Sangat jauh. Pemalas tidak akan mau dan mampu berpikir. Apalagi berbuat yang benar-benar ia butuhkan untuk kebahagiaan akhirat.*