Pernahkah kita membayangkan hidup panjang, sehat, sekaligus penuh manfaat bagi orang lain? Mayoritas manusia ingin panjang umur, tetapi sedikit yang tahu bagaimana menjadikannya berkah. Kisah Imam Abu Syuja’ memberi kita jawaban yang menyejukkan: umur panjang bukan sekadar angka, melainkan buah dari ilmu, amal, dan kesucian hati.
Kesucian hati, ini yang dalam epistemologi Barat tak bisa kita temukan. Meski demikian Islam memahami itu secara haqqul yakin, sehingga kita dapat melihat dari sejarah bagaimana orang terdahulu hidup tidak saja sehat tapi penuh manfaat.
Warisan Ilmu yang Hidup Abadi
Nama Imam Abu Syuja’ (Ahmad bin Husain bin Ahmad al-Ashfahani al-Syafi‘i) harum dalam tradisi keilmuan Islam.
Ulama besar Mazhab Syafi‘i ini meninggalkan warisan berharga: Matan al-Ghayah wa al-Taqrib. Kitab ringkas, padat, namun tetap relevan hingga kini, menjadi rujukan dasar para santri di berbagai pesantren. Ada yang beranggapan bahwa al-Ghāyah wa al-Taqrīb berfungsi sebagai pintu masuk untuk memahami fikih Syafi‘i sebelum naik ke kitab syarah yang lebih luas seperti Fath al-Qarīb atau Tuhfah al-Muhtāj.
Inilah bukti bahwa ilmu yang ditulis dengan ikhlas mampu menembus lintas generasi. Kisah selengkapnya bisa buka hidayatullah.com.
Rahasia Umur Panjang
Sisi yang tak kalah menarik dari ulama ini adalah usianya yang panjang. Sejarah mencatat beliau hidup hingga umur 160 tahun.
Lebih dari sekadar panjang umur, kesehatan beliau tetap terjaga. Tidak ada anggota tubuh yang rusak meski usia sudah senja.
Ketika ada yang bertanya apa rahasianya, Imam Abu Syuja’ menjawab: “Aku tidak pernah menggunakan anggota tubuhku untuk bermaksiat, maka Allah menjaganya hingga tua.”
Sebuah pelajaran mendalam bahwa menjaga diri dari maksiat adalah kunci keberkahan hidup.
Penelusuran rasionalnya mudah kita temukan jawabannya. Kalau orang taat kepada Allah, maka itu hak Allah untuk memberikan keutamaan. Dalam kata yang lain kalau kita ingin mendapat keutamaan hidup, hendaknya kita mematuhi Allah dengan sebaik mungkin.
Bukan semata lisan yang kita jaga, mata pun demikian. Lebih-lebih mata hati. Mesti benar-benar kita jaga dari memandang yang tidak Allah sukai. Ini tentu saja bukan pekerjaan ringan, tetapi kita harus berupaya melakukannya. Kita bahkan butuh menjalankannya kalau ingin hidup sehat, berkah dan penuh manfaat.
Dalam kata yang lain, bagi seorang Muslim, olahraga saja tidak cukup, menata mindset saja belum lengkap. Kita mesti taat kepada Allah, memastikan hati dan panca indera, semua bekerja dalam kebaikan.
Pemimpin yang Zuhud
Imam Abu Syuja’ pernah menjabat sebagai qadhi bahkan wazir. Namun, jabatan tidak mengubah kesalehan dan kesederhanaannya.
Beliau menyalurkan harta dalam jumlah besar kepada fakir, ulama, dan penuntut ilmu, sementara dirinya tetap hidup sederhana.
Dari sini kita belajar bahwa kekuasaan semestinya menjadi jalan pengabdian, bukan kemewahan pribadi.
Akhir Hayat yang Rendah Hati
Pada penghujung hidup, beliau memilih jalan zuhud. Imam Abu Syuja’ menyapu Masjid Nabawi, menyalakan lampu, dan menghamparkan tikar.
Amal yang tampak sederhana ini justru menunjukkan kerendahan hati dan pengabdian sejati. Sebuah penutup kehidupan yang indah, sejalan dengan laku hidup yang penuh ilmu dan kesalehan.
Pelajaran untuk Kita
Dari perjalanan Imam Abu Syuja’ kita mendapatkan teladan: menjaga anggota tubuh dari maksiat, menyebarkan ilmu bermanfaat, menjadikan jabatan sebagai pengabdian, serta menutup hidup dengan amal sederhana.
Pada akhirnya, kebesaran bukanlah soal pangkat atau panjangnya usia, melainkan seberapa tulus kita menjaga diri dan mengabdi kepada Allah.*


