Pagi ini (10/2), setelah berjalan kaki sekitar 300 meter, saya menyempatkan diri untuk membaca dua buku inspiratif karya Simon Sinek, yaitu Start With Why dan Leaders Eat Last. Membaca usai berjalan memang mengesankan.
Kedua buku ini mengajak kita untuk merenungkan makna sejati dari kepemimpinan.
Dalam perjalanan membaca, saya menemukan pemikiran yang mendalam tentang perbedaan antara menjadi pemimpin dan memimpin. Saya ingat dahulu juga pernah menulis artikel dengan judul “Pemimpin yang Memimpin“.
Memimpin vs. Menjadi Pemimpin
Menjadi pemimpin sering kali orang artikan sebagai memegang jabatan tertinggi dalam suatu organisasi atau kelompok. Namun, memimpin memiliki makna yang lebih dalam.
Memimpin berarti mampu menginspirasi orang lain untuk mengikuti kita, bukan karena kewajiban atau imbalan finansial, tetapi karena mereka ingin melakukannya. Ini adalah esensi dari kepemimpinan yang sejati.
Maka kalau kita ingat fenomena Pemilu, kalau ada orang terpilih menjadi Anggota DPR dan itu karena uang, biasanya dia tidak bisa memimpin.
Fokus orang yang tidak bisa memimpin adalah membangun citra. Orang yang memang punya kapasitas memimpin ia akan bekerja nyata. Terasa eksistensinya bagi rakyat.
Ketika seseorang memiliki jabatan tetapi hanya dikelilingi oleh orang-orang yang lemah secara kepribadian, yang pandai menjilat, dan melaporkan keburukan orang lain, maka pemimpin tersebut sudah rapuh sejak awal.
Dalam konteks ini, kita bisa memahami bahwa kepemimpinan bukanlah sekadar tentang posisi, tetapi tentang pengaruh yang kita miliki terhadap orang lain.
Jadi kalau kita sadar akan dua hal itu dengan baik, inilah saat tepat untuk mengubah semuanya. Seperti ungkapan Nido Qubein bahwa keadaan kita hari ini tidak menentukan ke mana kita bisa pergi. Itu hanya menentukan dari mana kita memulai.
Pengaruh Sejati dalam Kepemimpinan
Ada banyak contoh pemimpin yang tidak memiliki jabatan formal, tetapi memiliki pengaruh yang besar. Salah satunya adalah Buya Hamka, seorang tokoh yang tidak memimpin pemerintahan, tetapi pandangan-pandangannya mampu menggerakkan banyak orang.
Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati terletak pada kemampuan kita untuk mempengaruhi dan menginspirasi orang lain, bukan sekadar pada gelar yang kita sandang.
Memimpin juga berarti menghargai kelompok atau tim. Ketika seorang pemimpin mampu melihat dan merayakan keberhasilan orang lain, maka rasa hormat dan pengakuan yang diterima akan semakin besar.
Semakin besar rasa hormat tersebut, semakin tinggi status kita dalam kelompok, dan semakin banyak insentif yang harus kita berikan. Ini adalah mekanisme yang mendasari kepemimpinan yang efektif. Begitulah Simon Sinek memiliki pandangan.
Kegagalan dalam Memimpin
Sebaliknya, jika seorang pemimpin hanya fokus pada kritik, menjauh dari teguran yang konstruktif, dan menilai dengan semena-mena di ruang rapat, maka ia telah gagal dalam perannya.
Kepemimpinan yang baik tidak hanya tentang memberikan arahan, tetapi juga tentang mendengarkan dan menghargai kontribusi setiap anggota tim.
Dalam dunia yang semakin kompleks ini, kita perlu menyadari bahwa kepemimpinan yang efektif adalah tentang membangun hubungan yang saling menghormati dan saling mendukung.
Ketika kita mampu memimpin dengan cara yang demikian, kita tidak hanya menciptakan lingkungan kerja yang positif, tetapi juga mendorong setiap individu untuk berkembang dan berkontribusi pada tujuan yang lebih besar.
Pada akhirnya kita bisa menarik pemahaman bahwa kepemimpinan adalah perjalanan yang penuh tantangan dan pembelajaran.
Dalam refleksi ini, kita diingatkan bahwa menjadi pemimpin bukanlah sekadar tentang jabatan, tetapi tentang pengaruh yang kita miliki terhadap orang lain.
Dengan menghargai dan merayakan keberhasilan tim, kita dapat menciptakan budaya kepemimpinan yang positif dan produktif.
Mari kita terus belajar dan berusaha untuk menjadi pemimpin yang mampu menginspirasi dan memotivasi orang lain untuk mencapai potensi terbaik mereka. Menariknya, itu bisa kita mulai dari sekarang.*