Mas Imam Nawawi

- Artikel

Tak Ada Amanah yang Ringan

Menurut teman-teman, apa yang paling berat dalam hidup ini? Imam Al-Ghazali pernah menulis, bahwa hal paling tidak ringan bagi manusia adalah amanah. Ia bukan sekadar tanggung jawab, tapi perjanjian antara manusia dan Allah. Saya pernah menonton sebuah film tentang kerajaan di Afrika pada tahun 1621. Ketika sang raja tewas dalam pembunuhan berencana, anak sulungnya berambisi […]

Tak Ada Amanah yang Ringan

Menurut teman-teman, apa yang paling berat dalam hidup ini? Imam Al-Ghazali pernah menulis, bahwa hal paling tidak ringan bagi manusia adalah amanah. Ia bukan sekadar tanggung jawab, tapi perjanjian antara manusia dan Allah.

Saya pernah menonton sebuah film tentang kerajaan di Afrika pada tahun 1621. Ketika sang raja tewas dalam pembunuhan berencana, anak sulungnya berambisi menjadi raja.

Namun ada satu halangan — anak lelaki dari adiknya sendiri. Dalam nafsu kekuasaan, ia membunuh keponakannya, lalu naik tahta.

Waktu berlalu. Kekuasaan yang ia dambakan berubah menjadi beban. Keputusan-keputusannya membuat rakyat menderita. Ia pun akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri.

Dari kisah itu saya belajar, amanah bukanlah ruang untuk memuaskan ambisi, tetapi ladang ujian bagi kesetiaan manusia kepada nilai dan nuraninya. Oleh karena itu urusan banyak orang, Islam selalu mendorong agar kita berikan kepada sosok yang amanah.

Amanah Jangan Diburu

Seringkali manusia tergesa mengejar amanah seolah itu jalan menuju kehormatan. Kita lupa, amanah itu bukan hadiah, melainkan ujian. Ia tidak selalu datang dengan kemudahan, justru sering dibalut tanggung jawab yang menguras hati.

Mereka yang sadar akan amanah tak akan tamak dengan itu. Akan tetapi hati yang buta akan menjadikan amanah sebagai sarana meraih derajat. Ya, derajat palsu.

Menjadi pemimpin, guru, orang tua, atau sekadar pengingat bagi sesama — semuanya adalah bentuk amanah. Setiap posisi membawa tanggung jawab yang unik. Kadang terlihat kecil, tapi di hadapan Allah nilainya besar.

Ketika seseorang terlalu bernafsu mengejar amanah, biasanya yang ia cari bukan lagi keberkahan, melainkan pengakuan.

Padahal, semakin tinggi amanah yang dipegang, semakin berat pula hisabnya.

Dalam tradisi Hidayatullah amanah jangan diburu, tapi dijaga ketika ia datang. “Jangan cari-cari amanah. Tapi kalau datang amanah jangan pernah untuk lari,” pesan dari para senior Hidayatullah demikian.

Sebab bukan kita yang memilih amanah, melainkan amanah yang memilih siapa yang pantas memikulnya. Dan ketika ia sudah melekat di pundak, kita tak punya pilihan selain menjalankannya dengan jujur dan sebaik mungkin.

Jalankan Amanah Sebaik Mungkin

Setiap amanah menuntut keikhlasan, bukan kesempurnaan. Sebab manusia tidak akan luput dari salah, namun kejujuran dalam menjalankan tugas akan menjaga makna di balik setiap langkah.

Kadang amanah membuat kita lelah. Ada waktu di mana kita merasa tidak sanggup lagi. Tapi di saat yang sama, justru dari titik itu Allah mengajarkan makna keteguhan dan sabar.

Menjalankan amanah dengan baik tidak berarti selalu berhasil di mata manusia. Ia berarti tetap jujur, tetap berusaha, dan tidak mengkhianati niat awal: berbuat karena Allah.

Setiap kali kita menjaga amanah, sekecil apa pun itu, sejatinya kita sedang menjaga kehormatan diri. Karena amanah adalah cermin akhlak, dan akhlak adalah wajah sejati seorang mukmin.

Pada akhirnya, amanah tidak pernah ringan. Tapi di balik beratnya, ada keberkahan yang tidak bisa digantikan oleh apa pun. Ia mungkin membuat punggung menunduk, tapi hati justru tumbuh kuat dan lembut sekaligus. Bismillah lakukan yang terbaik. Kalau ada kesulitan janji Allah jelas, bersama kesulitan ada kemudahan.*

Mas Imam Nawawi