Saat detik waktu berganti, sering kali kita merayakannya dengan gegap gempita, seolah hanya momen berpindah angka yang perlu kita rayakan. Orang umumnya fokus pada “pesta” tahun baru dan kadang lupa akan makna.
Padahal, sejatinya, pergantian tahun adalah peluang untuk merenung, menyelami diri, dan menata langkah menuju pribadi yang lebih baik.
Sudah saatnya kita meninggalkan orientasi yang dangkal, menuju makna yang lebih mendalam: menjadi pribadi baru yang merdeka dan peduli.
Nasihat Buya Hamka
Buya Hamka, dalam buku “Pribadi Hebat,” dengan bijak menggambarkan pribadi baru sebagai sosok yang tidak menjadi budak benda.
Baca Juga: Memahami Kembali Makna Waktu
Pribadi yang merdeka, bukan karena kemewahan yang tergenggam, melainkan karena kebijaksanaan dalam menjalani hidup.
Peduli, menurut beliau, adalah inti dari kemerdekaan tersebut. Bagi seorang pemimpin, peduli berarti mengutamakan rakyat. Bagi seorang pengusaha, itu berarti membahagiakan karyawan.
Dan, bagi orang tua, peduli adalah mendisiplinkan anak-anak dalam ibadah, ilmu, dan kemajuan.
Menghidupkan Sistem Kesadaran
Buya Hamka melanjutkan dengan analogi yang menohok: manusia seperti mobil.
Mesin boleh saja bagus, dinamo sempurna, tetapi tanpa bensin, mobil tak akan bergerak.
Demikian pula manusia; tanpa kesadaran akan tujuan hidup, segala potensi yang ada hanya akan menjadi sia-sia. Kesadaran ini perlu kita tumbuhkan dan kita jadikan sistem yang berkelanjutan dalam kehidupan ini.
Kesadaran seperti apakah yang kita butuhkan?
Oprah Winfrey pernah berkata, kunci pertama dan utama untuk kesuksesan adalah mengenal diri kita sendiri.
Mengenal diri adalah langkah awal menuju transformasi. Kita perlu bertanya: apakah selama ini kita hanya menjadi manusia yang mengejar materi, atau kita berusaha memanifestasikan nilai-nilai keimanan dalam kehidupan?
Belajar dari Nabi Yusuf
Ketabahan Nabi Yusuf AS menjadi teladan yang sempurna. Beliau menghadapi cobaan hidup yang berat: saudara-saudaranya benci dan berkhianat, kemudian menjual Nabi Yusuf sebagai budak, hingga fitnah keji.
Namun, beliau tetap teguh, tabah, dan penuh semangat. Mengapa? Karena beliau memahami jati dirinya. Jati diri yang berakar pada moral, keteguhan hati, dan keyakinan mendalam kepada Allah SWT.
Jati diri adalah fondasi yang membedakan manusia progresif dari manusia reaktif.
Ketika seseorang memahami siapa dirinya, segala keputusan diambil dengan penuh pertimbangan dan tanggung jawab.
Sebaliknya, tanpa jati diri, kita mudah terombang-ambing oleh godaan duniawi.
Menyongsong Waktu dengan Kebijaksanaan
Pergantian tahun adalah momen emas untuk mengevaluasi diri. Bukan sekadar menyusun resolusi, tetapi merenungkan apa yang telah kita capai dan ke mana kita ingin melangkah.
Mari kita selami makna waktu seperti yang diajarkan dalam Islam. Waktu adalah amanah, yang akan kita pertanggungjawabkan.
Dalam semangat ini, menjadi pribadi baru bukan sekadar tentang perubahan kecil, tetapi tentang transformasi total. Kita perlu menjadi manusia yang progresif, yang menjunjung tinggi nilai adab, moral, dan spiritualitas.
- Mulailah dengan langkah-langkah kecil:
Kenali Diri: Tuliskan kelebihan dan kekuranganmu, lalu renungkan apa yang perlu diperbaiki. - Susun Tujuan: Pastikan tujuanmu bukan hanya untuk dirimu sendiri, tetapi juga untuk kemaslahatan orang lain.
- Terapkan Sistem: Jadikan kebaikan sebagai kebiasaan. Seperti bensin dalam mobil, sistem ini akan menggerakkan kita menuju tujuan hidup yang lebih besar.
Tahun Baru adalah Awal Baru
Setiap detik yang berlalu adalah kesempatan baru. Tahun baru ini, mari kita songsong dengan semangat menjadi pribadi baru.
Pribadi yang merdeka, peduli, dan beradab. Seperti kata Buya Hamka, jadilah manusia yang bukan sekadar hidup, tetapi menghidupkan.
Semoga perjalanan kita di tahun yang baru ini diberkahi dengan kebijaksanaan, keberanian, dan kebermanfaatan bagi sesama.*