Mas Imam Nawawi

- Opini

Senang Nulis, Komunitas Baru untuk Menulis dengan Hati

Sebagai orang yang senang nulis, saya melihat banyak orang ingin belajar dan menulis lalu bisa jadi buku. Setidak-tidaknya, baru 24 jam berproses sudah ingin karyanya nangkring di website media online. Itu sah-sah saja. Namun setelah melakukan perenungan, saya melihat senang nulis itu lebih baik. Karena menulis memang memberi begitu banyak dampak baik. Menariknya kalau kita […]

Senang Nulis, Komunitas Baru untuk Menulis dengan Hati

Sebagai orang yang senang nulis, saya melihat banyak orang ingin belajar dan menulis lalu bisa jadi buku. Setidak-tidaknya, baru 24 jam berproses sudah ingin karyanya nangkring di website media online. Itu sah-sah saja. Namun setelah melakukan perenungan, saya melihat senang nulis itu lebih baik. Karena menulis memang memberi begitu banyak dampak baik.

Menariknya kalau kita sudah merasakan manfaatnya, rasanya kita tak perlu buru-buru dapat “validasi” dari orang lain.

Saya bisa ilustrasikan orang yang senang nulis itu seperti pengantin baru. Ia akan merasakan gairah intelektual dan spiritual tinggi, sehingga dengan kebiasaan menulis ia menyadari bahwa membaca itu perlu.

Kalau keduanya bisa jadi kebiasaan, berbicara pun akan ia tata, ia siapkan. Ia tidak akan berbicara secara asal, acak dan tidak tentu arah. Itu karena menulis memang membiasakan otak menata segala informasi menjadi sajian yang terstruktur, sesederhana apapun struktur tulisannya.

Hadirkan Rasa Senang

Menulis selalu memberi ruang bagi siapa saja untuk bertumbuh. Ia bukan sekadar hobi, melainkan sarana melatih kepekaan hati dan pikiran. Ketika seseorang menulis dengan senang, maka setiap kata menjadi cermin dari dirinya. Inilah yang membuat menulis terasa begitu menyenangkan.

Satu hal yang perlu kita sadari, rasa senang nulis tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh ketika kita membiasakan diri duduk, menulis, lalu mengalirkan pikiran dalam bentuk kata.

Dari proses sederhana itu, kita menemukan kebahagiaan yang murni. Bahagia karena mampu menuangkan isi hati menjadi sesuatu yang nyata.

Lebih jauh lagi, menulis juga melatih disiplin. Setiap kali kita menulis, kita belajar menata ide dan menyusunnya dengan rapi.

Ini berdampak besar pada cara berpikir dan cara berbicara kita sehari-hari. Otak menjadi lebih teratur, kata-kata keluar lebih tertata.

Jika menulis sudah menghadirkan rasa senang, kita tidak perlu terburu-buru mencari pengakuan. Validasi dari orang lain akan hadir dengan sendirinya. Namun yang lebih berharga adalah rasa puas dan lega setelah kita menulis. Itulah hadiah pertama yang selalu kita terima.

Tebarkan Rasa Senang Nulis itu Melalui Karya

Rasa senang nulis tidak berhenti pada diri sendiri. Ia seharusnya menular kepada orang lain. Ketika kita menulis, kita sedang memberi inspirasi, meski sederhana. Mungkin tulisan kita hanya satu paragraf, namun bisa memberi semangat besar bagi pembaca.

Dan, mengapa kita tidak memulai menulis meski satu paragraf, sedangkan masing-masing kita punya Facebook, Instagram, Status Whatsapp dan lainnya.

Menulis dengan hati akan terasa berbeda. Setiap kata membawa energi, setiap kalimat memancarkan keikhlasan.

Dari sini orang akan merasakan tulusnya pesan yang kita sampaikan. Maka, semakin sering kita menulis, semakin luas pula kebaikan yang kita sebarkan.

Ibarat pengantin baru, menulis menghadirkan gairah yang hangat. Ada semangat yang membuat kita ingin membaca lebih banyak. Ada dorongan yang membuat kita ingin belajar terus. Inilah yang kemudian menguatkan tradisi literasi, baik membaca maupun menulis.

Akhirnya, mari tebarkan semangat menulis dari hal yang kecil. Tidak perlu menunggu ide besar, cukup mulai dari pengalaman harian.

Jika kita konsisten, tulisan akan terkumpul dan bisa menjadi karya nyata. Dari sanalah, rasa senang nulis akan berlipat ganda dan menginspirasi banyak orang. Kemudian, hal yang paling menarik dan begitu mendasar, setiap kita menulis kita butuh membaca. Ingatkan perintah Allah yang pertama untuk kita?*

Mas Imam Nawawi