Mas Imam Nawawi

- Artikel

Menyelam dalam Realitas Sejarah untuk Hidup Lebih Bergairah

Matahari masih malu menampakkan sinar hangatnya. Tapi saya dan teman-teman telah menyalakan api semangat untuk hadir dalam diskusi. Diskusi Kamisan nama forumnya. Satu magnet yang begitu kuat menarik antusiasme kami adalah sang naras sumber: KH. Dr. Ali Imron, M.Ag. Seperti saya dahulu menjadi mahasiswa dan beliau dosennya, narasi dan retorika narasumber tetap membawa kami sadar […]

Menyelam dalam Realitas Sejarah untuk Hidup Lebih Bergairah

Matahari masih malu menampakkan sinar hangatnya. Tapi saya dan teman-teman telah menyalakan api semangat untuk hadir dalam diskusi. Diskusi Kamisan nama forumnya. Satu magnet yang begitu kuat menarik antusiasme kami adalah sang naras sumber: KH. Dr. Ali Imron, M.Ag. Seperti saya dahulu menjadi mahasiswa dan beliau dosennya, narasi dan retorika narasumber tetap membawa kami sadar bahwa hidup tak boleh terdindingi oleh realitas saat ini. Kita harus bisa menyelam dalam realitas sejarah yang sangat dialektik, menuju realitas hari ini yang begitu kompleks tanpa kehilangan gairah untuk terus pada nilai-nilai perjuangan.

Caranya, saran dari Dr. Ali Imron, kita harus bisa membaca secara kreatif, antisipatif dan adaptif. Karena dunia terus berubah. Siapa salah membaca maka ia akan gagap, gugup, bahkan mungkin gegabah dan akhirnya “menyerah”.

Roda Sejarah

Diksi yang menarik beliau sampaikan ialah “roda sejarah”. Satu konsep yang menerangkan kepada kita bahwa sejarah akan terus bergerak. Hari ini kita hidup, nanti akan jadi riwayat. Tapi yang penting kita pahami adalah apa itu roda sejarah.

Roda sejarah dalam hal ini adalah bagaimana ia bergerak. Penggerak roda sejarah selalu orang-orang yang punya idealisme dalam ideologi. Kemudian pentas sejarah berbicara tentang perebutan materi. Dan, pada akhirnya juga muncul perubahan alam dan sosial teknologi.

Kalau kita ambil poin ketiga, perubahan alam dan sosial teknologi, kita bertemu dengan gadget. Penyakit baru muncul: gangguan kesehatan mental. Dan, apakah kita selamat dari penyakit itu atau malah jadi korban. Kita harus menyadari agar tak mati oleh penyakit sosial teknologi itu.

Lebih dalam manusia kini mulai banyak yang berpikir dan menulis dengan bantuan AI. Seorang dai kemarin menemuiku dan bertanya tentang AI. Satu cara saya contohkan, ia terkagum-kagum.

Saya tidak tahu apakah senior itu bisa memaknai AI secara nilai atau terperangkap pada kecanggihan kemudian tergantung dan “memarkirkan” kemampuan berpikir originalnya. Sebab, banyak orang bertemu kecanggihan teknologi, lalu ia tersihir.

Gairah Solusi

Itu baru secuil masalah yang muncul dalam masa kita hidup saat ini. Masalah tidak akan berhenti, ia datang sesuai kehendak-Nya untuk mendewasakan dan menguji, apakah kita kreatif, antisipatif dan adaptif. Gagal melakukan tiga hal itu, artinya kita salah membaca arah perjalanan. Dalam kata yang lain, kita tidak akan punya konsep pembaharuan.

Lalu, apakah kita akan begitu? Penjajah saja terus punya cara baru dalam menjajah. Dahulu karena penjajah datang dengan militer, bambu runcing pun jadi kekuatan kita. Karena kita sadar ada musuh dan harus melawan.

Sekarang, penjajah datang dengan cara yang halus, layaknya teman. Ia mengaliri rekening kita dengan digit yang bisa membuat kita bebas belanja. Tapi jiwa, akal dan pemikiran sudah tidak ada lagi. Mati bersama kesibukan harian menghitung-hitung jumlahnya.

Uang dan Visi

Kita butuh uang, dana dan kekuatan itu semua. Tapi bukan untuk urusan pribadi semata. Kita butuh mengerahkan itu semua untuk menghadirkan gairah menemukan solusi. Kapan itu kita temukan?

Kalau kata Dr. Ali Imron, itu bisa kita capai kala mampu menghadirkan visi pengembangan yang adaptif dan solutif. Kita hadir menyelesaikan problem umat, masyarakat, rakyat dan bangsa serta negara. Konkritnya kita butuh SDM yang berkapasitas dalam hal leadership dan keberanian. Karena semua tantangan hari ini menguji kita semua, terutama para pemimpin.

Apakah kita memilih jalan pelaku sejarah yang mengarah pada kemaslahatan? Atau justru tergiur kesenangan yang mematikan masa depan dalam kehidupan yang sejati: akhirat?*

Mas Imam Nawawi