Kemarin (11/9/25) saya melaju dari Bogor menuju Jakarta dengan roda empat. Dalam perjalanan ini saya tak sendiri. Empat anak muda duduk bersama saya, mata mereka berbinar penuh semangat. Obrolan kami mengalir bagai sungai, membelah berbagai topik dari yang ringan hingga yang mendalam. Namun, ada satu tema yang terus-menerus kembali, menjadi inti dari percakapan kami: dzikir, atau mengingat Allah SWT. Apa untungnya kalau kita rajin dzikir?
Dzikir Bukan Hanya Perkara di Masjid
Bagi sebagian besar dari kita, dzikir adalah ritual yang terasa nyaman dan sakral di dalam masjid. Lingkungan yang tenang dan hening seolah menjadi “rumah” bagi dzikir.
Namun, obrolan kami menyingkap pandangan yang lebih luas, sebuah pemahaman yang jadi pegangan teguh insan ulul albab—mereka yang memiliki akal dan hati yang cemerlang.
Bagi mereka, dzikir bukanlah sekadar kegiatan di dalam masjid. Ia adalah napas yang tak pernah putus, pengingat yang menyertai di setiap langkah.
Bayangkan dzikir sebagai tali yang mengikat kita pada kompas moral. Tali ini tidak hanya terbentang di satu titik, melainkan harus kita bawa kemanapun kita pergi. Entah ke kantor, ke kampus, atau bahkan di tengah hiruk pikuk kota.
Memang, kita bisa memulainya di masjid—seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Namun, setelah panah itu melesat, dzikir harus terus menyertai kita, menancap kuat dalam setiap tindakan, perkataan, dan pikiran.
Ketika Jumat Bukan Sekadar Akhir Pekan
Ambil contoh hari Jumat. Ini bukan hanya hari yang mana kita menanti akhir pekan. Pada hari istimewa ini, kita seolah mendapat panggilan untuk segera kembali kepada-Nya.
Panggilan itu bisa kita jawab dengan salat sunnah, dengan mengulang lafaz-lafaz dzikir, atau dengan meresapi setiap kata dari khutbah yang disampaikan.
Bahkan, ada perintah untuk meninggalkan segala bentuk jual-beli—sebuah pengingat kuat akan betapa pentingnya panggilan ini.
Namun, yang menarik, setelah salat Jumat usai, kita tidak diminta untuk terus berdiam diri. Justru sebaliknya, kita disuruh untuk ‘bertebaran di muka bumi, mencari karunia Allah’.
Ini bagai sebuah misi: setelah mengisi ulang “baterai” spiritual, kita harus kembali ke medan perjuangan hidup. Dan lagi-lagi, dalam arus pencarian karunia-Nya, kita mendapat penekanan penting untuk berdzikir sebanyak-banyaknya, agar kita beruntung.
Keberuntungan Sejati Ada di Genggaman Dzikir
Lalu, apa arti keberuntungan itu? Keberuntungan sejati bukanlah soal bertambahnya saldo di rekening bank semata. Keberuntungan hakiki adalah ketika hidup kita terjaga dan penuh keselamatan.
Ketika kita ingat kepada Allah, hati kita akan penuh dengan sikap kehati-hatian. Kita akan berpikir dua kali sebelum melangkah, memilih kata, atau mengambil keputusan. Hati-hati ini adalah perisai yang melindungi kita dari jurang kesalahan.
Allah sendiri telah berjanji, sebuah janji yang begitu indah dan menenangkan: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku,” (QS. Al-Baqarah, 02:152).
Ini adalah hubungan dua arah yang luar biasa. Saat kita merawat ingatan kepada-Nya, Dia pun akan merawat kita.
Sebaliknya, saat ingatan itu pudar, hati kita bisa menjadi tanah kosong. Manusia yang lupa kepada Tuhannya, cepat atau lambat, akan melupakan eksistensinya sendiri.
Ia akan kehilangan kompas moralnya dan tak lagi mengenali mana yang baik dan mana yang buruk. Seketika ia berubah menjadi penghamba harta, tahta dan wanita. Ucapannya penuh arogansi, perilakunya jauh dari akhlak. Kemudian ia memandang orang lain tak lebih dari hewan ternak.
Itulah sebabnya, kita melihat ada orang yang dengan mudah terjerumus dalam keburukan, seolah-olah ia merasa baik-baik saja dalam kegelapan. Semoga kita mendapat karunia Allah untuk selalu membasahi lisan dengan dzikir.*