Mas Imam Nawawi

- Kisah

Halaqoh: Tempat Jiwa Beristirahat dari Riuh Dunia

Ada masa ketika kepala terasa penuh. Tugas menumpuk, notifikasi datang tanpa henti, dan pikiran terus bekerja bahkan saat tubuh ingin istirahat. Seolah dunia menuntut kita untuk terus bergerak, tanpa jeda. Sebenarnya kita sadar, kita butuh istirahat. Tapi kalau kita biarkan kondisi itu, maka pekerjaan itu akan menipu bahkan membunuh kita. Berapa banyak orang stres karena […]

Ada masa ketika kepala terasa penuh. Tugas menumpuk, notifikasi datang tanpa henti, dan pikiran terus bekerja bahkan saat tubuh ingin istirahat. Seolah dunia menuntut kita untuk terus bergerak, tanpa jeda. Sebenarnya kita sadar, kita butuh istirahat.

Tapi kalau kita biarkan kondisi itu, maka pekerjaan itu akan menipu bahkan membunuh kita. Berapa banyak orang stres karena terlalu lama bekerja. Entah karena obsesi atau karena kondisi.

Bagi sebagian Muslim, penting untuk sejenak berpikir. Jangan sampai karena pekerjaan membuat kita enggan dan pergi dari halaqoh. Tempat bagi jiwa kita bisa istirahat dari riuh dunia.

Dalam keadaan seperti itu, banyak orang mencari pelarian—ada yang menonton, ada yang berlibur, ada pula yang sekadar berdiam di kamar berharap tenang.

Namun entah mengapa, setelahnya tetap terasa hampa. Seakan ada ruang dalam diri yang tak terisi oleh hal-hal duniawi. Halaqoh bisa menjadi penawar bagi siapapun.

“Makna” Halaqoh

Dari sinilah sebenarnya halaqoh menemukan maknanya. Bukan sekadar duduk mendengarkan tausiyah, melainkan mengistirahatkan akal dari pengaruh dunia. Apalagi dalam halaqoh semua bisa bersuara, bisa menguraikan isi hatinya dengan target menguatkan iman, semangat dan etos kerja.

Jadi halaqoh bisa menumbuhkan etos kerja. Kerja yang bukan sebatas kewajiban, tapi penuh rasa kesadaran tanggung jawab dengan landasan iman.

Tanpa halaqoh orang akan menuruti pekerjaan. Padahal pekerjaan tak akan pernah selesai. Tapi mencari ilmu dan mendekat kepada Allah tak bisa diwakilkan.

Berhenti Sejenak

Dalam halaqoh, hati kita memenuhi ajakan berhenti sejenak dari hiruk pikuk, lalu kembali kita mengisi hati dengan cahaya kebenaran. Seperti baterai yang lemah dan butuh di-charge agar kembali bertenaga.

Kita sering berpikir kebutuhan utama manusia adalah oksigen, makanan, dan air. Tanpa itu kita tak bisa hidup.

Tapi pernahkah kita merenung, kita butuh oksigen, kita butuh makanan, apakah kita tidak butuh kepada Allah?

Padahal, dari-Nya datang ketenangan yang tak bisa dibeli. Dari-Nya pula datang makna atas setiap lelah dan arah bagi setiap langkah.

Mengembalikan Kesadaran

Halaqoh menjadi tempat untuk mengembalikan kesadaran itu. Ia mengajarkan bahwa ibadah bukan beban, melainkan kebutuhan fitrah.

Dalam setiap sujud dan halaqoh, kita sedang berkata lembut kepada diri sendiri: tenanglah, semua ini bukan tentang dunia, tapi tentang perjalanan pulang. Pulang bukan untuk kembali, tapi untuk bahagia selamanya dalam dekapan ridha-Nya.

Melalui halaqoh kita insya Allah bisa meraihnya. Sebab ini bagian dari ikhtiar dan mujahadah kita agar tak terpedaya oleh kefanaan.

Teman-teman ini adalah paparan saya kepada sahabat-sahabat yang halaqoh bersama saya. Tapi semoga ini memberi manfaat kepada siapapun untuk tetap semangat dan menyala dalam halaqoh.*

Mas Imam Nawawi