Mas Imam Nawawi

- Opini

Guru Rabbani Problem Solver Bangsa

Guru punya peran sentral dalam membentuk generasi Rabbani. Jika meneladani sosok Luqman, maka tugas guru bukan hanya mengajar. Ia bertanggung jawab menanamkan tauhid di hati anak didiknya. Itulah mengapa saya menggunakan judul dengan diksi “Problem Solver Bangsa.” Pada titik inilah kita perlu merenung sejenak. Betapa banyak orang hari ini menjadikan uang, jabatan, atau pengakuan sebagai […]

Guru Rabbani Problem Solver Bangsa

Guru punya peran sentral dalam membentuk generasi Rabbani. Jika meneladani sosok Luqman, maka tugas guru bukan hanya mengajar. Ia bertanggung jawab menanamkan tauhid di hati anak didiknya. Itulah mengapa saya menggunakan judul dengan diksi “Problem Solver Bangsa.”

Pada titik inilah kita perlu merenung sejenak. Betapa banyak orang hari ini menjadikan uang, jabatan, atau pengakuan sebagai tujuan hidup. Seolah-olah itulah “tuhan” baru dalam keseharian mereka. Padahal, tugas seorang guru sejati adalah memastikan muridnya menyembah Allah semata, bukan mempersekutukan-Nya dengan apapun.

Dari sinilah sesungguhnya fondasi pendidikan Islam berdiri: membentuk manusia yang beriman sebelum berilmu. Sebab ilmu tanpa iman hanyalah kecerdasan tanpa arah.

Oleh karena itu, dalam derasnya arus sekularisme dan materialisme, kesadaran ini kian penting. Guru Rabbani tak boleh berhenti pada profesionalitas teknis. Lebih dari itu, ia harus menjalankan tugas profetik—menjadi teladan keimanan sebagaimana Rasulullah SAW. Di sinilah letak keistimewaan guru dalam Islam: ia bukan hanya mendidik akal, tetapi juga menuntun hati.

Guru sebagai Murabbi dan Mu’allim

Untuk itu, guru sejati tidak berhenti sebagai pengajar. Ia juga murabbi, seorang pendidik yang menumbuhkan nilai kebaikan dalam diri murid dan lingkungannya. Ia mengasuh dengan cinta, membimbing dengan keteladanan, dan menuntun dengan doa. Bahkan ketika kelas telah usai, hatinya masih memanggil nama-nama muridnya dalam sujud malam.

Selanjutnya, guru juga mu’allim, yaitu orang berilmu yang memahami makna dan fungsi ilmunya dalam kehidupan. Ia tidak hanya mengajarkan “apa yang harus diketahui,” tetapi juga “bagaimana ilmu itu harus hidup.”

Mu’allim menuntun murid agar paham, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai yang dipelajarinya dalam keseharian.

Dengan kesadaran itu, guru Rabbani tahu bahwa ilmunya bukan untuk disimpan, melainkan ditransformasikan menjadi amal. Ia mengajak murid belajar agar tumbuh iman dan akhlak, bukan sekadar nilai rapor.

Allah menjanjikan derajat tinggi bagi mereka yang beriman dan berilmu.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11).

Ayat ini mengingatkan bahwa kemuliaan tidak datang dari viralitas atau popularitas, tetapi dari ilmu yang berbuah iman. Karena itu, guru Rabbani menanamkan kesadaran agar murid tak mengira derajat hidup meningkat karena tekun scrolling media sosial, melainkan karena ilmu yang menghidupkan amal.

Pendidik Rabbani: Jiwa di Balik Ilmu

Pada tataran inilah muncul pertanyaan penting: siapa yang mampu memulihkan wajah pendidikan hari ini? Jawabannya adalah pendidik Rabbani.

Merekalah jiwa-jiwa yang menyalakan kembali nilai dalam ruang kelas yang mulai kehilangan ruh.

Pendidik Rabbani adalah jawaban atas degradasi moral yang mengepung dunia pendidikan belakangan ini.

Kata Rabbani berasal dari “Rabb” — Sang Pencipta, Pengatur, Pemilik, dan Pendidik semesta. Maka guru Rabbani adalah insan yang meneladani sifat-sifat itu: berilmu, sabar, penyayang, dan penuntun menuju kebenaran.

Menjadi Rabbani berarti terus membaca dan menulis. Dua kebiasaan inilah yang menumbuhkan ketajaman pandangan dan kejernihan berpikir. Ia terus belajar, tidak pernah merasa selesai.

Lebih dari itu, guru Rabbani juga faqih, cakap membaca realitas. Ia tidak mudah terkecoh informasi sesat dan tidak tergesa-gesa menilai tanpa data. Ia mengajarkan kebijaksanaan, bukan sekadar pengetahuan.

Allah berfirman:
“Jadilah kamu orang-orang Rabbani, karena kamu mengajarkan Kitab dan karena kamu mempelajarinya.” (QS. Ali Imran: 79).

Yusuf Al-Qaradhawi menjelaskan, Rabbaniyah memiliki dua makna: tujuan dan metode.

Artinya, guru Rabbani tahu arah pendidikan yang ingin dicapai, sekaligus memahami jalan dan tahapan untuk mewujudkannya. Ia tidak hanya tahu apa yang benar, tetapi juga bagaimana menuntun ke arah yang benar.

Meneguhkan Karakter Rabbani

Dari sinilah kita paham bahwa generasi Rabbani bukan sekadar sebutan, tetapi karakter hidup. Mereka taat, lembut, dan tidak zalim. Mereka tidak suka melukai, justru peduli dan melindungi.
Karakter ini sangat bangsa kita butuhkan di tengah maraknya perundungan dan menurunnya empati di lingkungan sekolah.

Orang Rabbani bukan hanya berilmu, tapi juga mengamalkan ilmunya dengan sadar.

Mereka mengajar dengan cinta, membimbing dengan hikmah, dan menjiwai setiap langkah dengan nilai-nilai Islam.

Inilah ruh pendidikan sejati — bukan sekadar ritual, melainkan kesadaran spiritual yang menghidupkan seluruh dimensi manusia.

Secara sosial, generasi Rabbani mampu menawarkan solusi yang holistik bagi problem umat. Mereka berpikir jernih, bertindak bijak, dan memikul tanggung jawab peradaban.

Komitmen mereka terhadap nilai kebaikan kokoh, orientasinya jelas: mencerdaskan dan menuntun umat dalam kebaikan.

Jantung Peradaban

Akhirnya, kita kembali pada kesimpulan paling mendasar: guru adalah jantung peradaban.

Dari tangan mereka lahir generasi yang berpikir jernih, berjiwa tenang, dan berhati lapang.

Jika guru Rabbani yang membentuk generasi Rabbani, maka bangsa ini akan kembali memiliki arah dan martabat.

Karena pendidikan sejati bukan sekadar mencerdaskan, tetapi menyadarkan.
Dan kesadaran itulah yang menuntun manusia kembali kepada Rabb-nya.

Itulah letak kemuliaan seorang guru — bukan pada gelar, tetapi pada jiwa yang menumbuhkan iman, serta ikhtiar yang melahirkan generasi berperadaban. Jadi, relevan sekali bukan kalau guru rabbani adalah problem solver bangsa.*

Mas Imam Nawawi