Mas Imam Nawawi

- Artikel

Gara-Gara Buku, Menulis Buku

Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini, rasanya memang sulit kita pungkiri. Termasuk ketika seorang penulis menulis buku. Cerita dan alurnya tak pernah lepas dari buku. Begitulah yang saya dapatkan dari kisah Imron Mustofa menulis buku: “Buya Hamka Prinsip Hidup dan Mutiara Nasihat Sang Guru Bangsa”. Jadi suatu waktu, Imron Mustofa pulang kampung ke Kebumen, […]

Gara-Gara Buku, Menulis Buku

Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini, rasanya memang sulit kita pungkiri. Termasuk ketika seorang penulis menulis buku. Cerita dan alurnya tak pernah lepas dari buku. Begitulah yang saya dapatkan dari kisah Imron Mustofa menulis buku: “Buya Hamka Prinsip Hidup dan Mutiara Nasihat Sang Guru Bangsa”.

Jadi suatu waktu, Imron Mustofa pulang kampung ke Kebumen, kampung halamannya. Ia membawa buku “Tasawuf Modern” karya Hamka. Ketika lelah, Imron meletakkan buku itu di meja. Tidak lama berselang, melintas sang ibu. “Itu seperti buku ayahmu,” ungkapnya.

Imron kaget kemudian menelusuri ke ayahnya. Ibunya bercerita bahwa ayahnya pernah membeli buku itu di pasar. Kata Imron buku itu adalah bacaan sang ayah ketika pikirannya dalam kondisi rumit, ruwet dan tak tertata. Kata tasawuf ternyata menjadi pendorong mengapa sang ayah membeli buku itu.

Menyadari kejadian yang Imron sebut unik itu, ia pun terdorong menulis tentang Buya Hamka.

Jalan Pasti

Dari fakta itu kita bisa belajar bahwa dalam hidup ini ada jalan pasti. Tentu saja pasti kalau Allah memberi restu untuk sesuatu bisa kita raih. Tapi secara umum memang begitu.

Sebagai contoh, mengapa Imron bisa menulis buku? Kemudian mengapa Bung Hatta bisa menulis buku? Lalu mengapa Anies Baswedan pandai bicara buku?

Semua itu adalah skill yang mereka peroleh karena menempuh satu jalan, yaitu berdekat-dekat dengan buku.

Orang yang dekat dengan buku biasanya kalau berbicara enak terdengar, masuk akal dan renyah sekali kita menyimaknya.

Sebaliknya orang yang jarang membaca buku apalagi tidak, bicaranya itu-itu saja. TIdak ada inspirasi, tidak menggerakkan dan tidak menggairahkan. Oleh karena itu Ust. Abdullah Said, pendiri dan penggagas Hidayatullah mengatakan, jadi dai itu harus tekun membaca. Kalau tidak akan sangat tidak menyenangkan umatnya.

Mulai Segera

Dengan demikian manusia akan menjadi apa yang jadi kedekatannya. Senang buku, potensi bisa menulis buku, minimal bicaranya berbobot, sesuai buku yang jadi bacaannya.

Selanjutnya tugas kita adalah memulai dengan segera. Tapi satu hal yang perlu kita perhatikan dengan sebaik-baiknya, kalau kita memulai, jangan berpikir lelah apalagi berhenti.

Banyak orang ingin bisa menulis, tapi ia mudah lelah dalam proses. Menulislah karena Allah, menulislah untuk menebar manfaat. Insya Allah hidup kita akan dalam berkah Allah SWT.

Pada akhirnya, perhatikanlah apa yang kita sukai, karena itulah yang akan membentuk pribadi bahkan masa depan kita sendiri. Ketika Ronaldo menyukai bola, ia menjadi pesepakbola terbaik. Saat Buya Hamka mencintai ilmu ia pendakwah, ia penulis, ia pemikir dengan karya-karya yang terus menginspirasi banyak orang. Pertanyaannya, apakah Buya Hamka kebetulan menjadi seorang ulama?*

Mas Imam Nawawi