Mas Imam Nawawi

- Opini

Dakwah Digital dalam Semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober

Teknologi itu seperti pakaian yang terus berganti model. Kini, kita dapat menggenggam seluruh dunia hanya lewat satu perangkat. Bagaimana jika pemuda Islam belum menjadikan ruang digital sebagai ladang dakwah yang besar? Bukankah itu kehilangan peluang emas? Dalam momentum Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2025 rasanya relevan kalau kita coba menarik benang merah antara pemuda dan […]

Teknologi itu seperti pakaian yang terus berganti model. Kini, kita dapat menggenggam seluruh dunia hanya lewat satu perangkat. Bagaimana jika pemuda Islam belum menjadikan ruang digital sebagai ladang dakwah yang besar? Bukankah itu kehilangan peluang emas? Dalam momentum Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2025 rasanya relevan kalau kita coba menarik benang merah antara pemuda dan dakwah digital.

Pada 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia berseru: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Semangat persatuan melampaui batas suku dan keragaman. Semangat itu kini harus diterjemahkan ke dalam era digital. Semangatnya adalah dakwah tidak boleh tertinggal.

Dalam tulisan saya dahulu “Dakwah Sesuai Perkembangan Digital”, dakwah digital bukan sekadar opsi tambahan, melainkan tuntutan strategis. Teknologi digital telah mendesak kita untuk beradaptasi: interaksi berubah, media berubah, cara menyampaikan pesan Islam ikut berubah.

Dakwah Tak Lagi Sebatas Mimbar

Umat Islam sekarang bisa berdakwah lewat media sosial seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan platform lainnya.

Dengan demikian, ceramah tidak lagi terbatas mimbar. Tetapi, makna dakwah tetap sama: menyampaikan ajaran, menumbuhkan kesadaran, mengajak menuju kebaikan. Jika kita aktif dalam dunia digital, konten positif akan lebih dominan; sebaliknya, jika kita pasif, maka ruang kita akan dikuasai konten destruktif.

Masjid sebagai institusi, pesantren, gerakan Islam juga punya tugas besar. Dunia digital bukan lagi pelengkap, tetapi jalur utama dakwah. Ketika kita sadar bahwa dakwah digital relevan dengan kebutuhan masyarakat, maka citra dakwah sebagai cahaya yang terus dibutuhkan akan tetap hidup.

Menariknya, siapa pun dapat terlibat dalam dakwah digital. Dahulu dakwah identik dengan dai. Sekarang, siapa saja yang mampu mengemas pesan dengan baik, menjaga etika, dan menyampaikan bil hikmah, bisa menjadi dai digital. Syaratnya sederhana: menguasai teknologi informasi dan komunikasi, memahami karakter masyarakat era digital, dan mahir menggunakan media-media berbasis teknologi.

Ayo Tempuh Cara Baru

Semangat Sumpah Pemuda mengajak kita keluar dari cara lama, merangkul inovasi, dan bersatu dalam misi nasional. Maka dalam dakwah digital kita pun bersatu: satu misi, satu media, satu komunitas Muslim yang aktif di dunia maya. Teknologi adalah pakaian baru dakwah kita. Ia membuat kita makin indah, makin mudah menjangkau, makin relevan.

Mari kita hadir dalam ruang digital dengan optimisme. Jangan biarkan konten negatif mengisi saluran kita. Sebaliknya, isi dengan ajaran Islam yang moderat, santun, inklusif—seperti yang pernah saya tekankan dalam tulisan terdahulu. Meski begitu satu hal yang mesti kita sadari adalah dakwah digital bukan pengganti dakwah tradisional; ia pelengkap yang memperluas jangkauan.

Dengan kesadaran dan langkah nyata, kita ikut menjaga agar dunia digital menjadi ladang cahaya. Dan dalam semangat 28 Oktober, kita menunjukkan bahwa generasi Muslim juga mampu memimpin di era digital. Jadilah bagian dari perubahan itu—bukan penonton. Itu syarat kalau kita ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045.*

Mas Imam Nawawi