Mas Imam Nawawi

- Opini

Cahaya Kecerdasan Indonesia Meredup?

Pagi sekali, saya membaca sebuah artikel di Kompas.id Judulnya “Profesi Dosen yang Dianggap ‘Mentereng’ tetapi Kering di Kantong”. Padahal dosen adalah cahaya di kampus, negeri maupun swasta. Guru dan dosen adalah cahaya kecerdasan bangsa. Jangan biarkan mereka meredup. Redupnya cahaya kampus sama dengan lemahnya SDM Indonesia. Bisakah mewujudkan Indonesia Emas 2045 dengan cahaya redup dan […]

Cahaya kecerdasan meredup

Pagi sekali, saya membaca sebuah artikel di Kompas.id Judulnya “Profesi Dosen yang Dianggap ‘Mentereng’ tetapi Kering di Kantong”. Padahal dosen adalah cahaya di kampus, negeri maupun swasta. Guru dan dosen adalah cahaya kecerdasan bangsa. Jangan biarkan mereka meredup.

Redupnya cahaya kampus sama dengan lemahnya SDM Indonesia. Bisakah mewujudkan Indonesia Emas 2045 dengan cahaya redup dan apa adanya?

Seperti lampu, kalau aliran listrik (baca gaji) ke mereka kecil, tentu saja cahaya akan redup. Meski lampu itu sendiri memiliki watt yang besar. Dalam kata yang lain, langkah dan harapan mencerdaskan kehidupan bangsa akan sangt terhambat bahkan mungkin wafat.

Sementara ada orang yang posisinya tinggi, kontribusinya tidak jelas bagi rakyat, bisa mendapat gaji luar biasa. Malah, kadang-kadang kebijakannya mencekik rakyat. Orang seperti itu bisa kita anggap bak ular, membahayakan masa depan bangsa dan negara.

Seharusnya mereka yang terhormat, mengerti bagaimana membuat kebijakan yang bermartabat. Meskipun tak semua dosen selamanya “terganggu” oleh pasokan “listrik” seperti itu.

Seperti dosen-dosen saya di STAIL Surabaya. Mereka memang mendedikasikan diri menjadi pencerah untuk calon sarjana yang siap mengabdi melalui jalur dakwah.

Kalau mereka mengejar kenikmatan materi, mungkin sudah tutup kampus yang tegak dan berdiri atas komitmen umat untuk kemajuan generasi muda itu.

Dosen Sambil Ngojek

Walakin, sebagai sebuah generator kemajuan, pemerintah dan negara, seharusnya bisa menjadikan dosen fokus mendidik anak bangsa. Pada artikel itu juga saya menemukan fakta, ada seorang dosen universitas ternama di Ternate, harus rela menyambi sebagai tukang ojek untuk memenuhi kebutuhan primernya. Kalau ini dibiarkan, generasi muda akan ogah memilih profesi sebagai dosen. Untung sekali bagi pemerintah dan negara, dosen itu memang sadar mengajar adalah pengabdian, jadi dia tidak meninggalkan kampus.

Bayangkan 25 tahun ke depan, ketika anak-anak bangsa yang cerdas dan bertalenta enggan ke kampus menjadi cahaya, kepada siapa negara ini berharap lahir generasi yang cerdas, patriotik, dan cinta NKRI. Padahal belakangan orang mulai melirik pekerjaan di luar negeri, yang secara gaji layak, sehingga bisa hidup patut.

Cemas ke Indonesia Emas

Pemerintah harus benar-benar mengatasi soal ini. Memang ini tidak sama dengan sisi kerusakan alam dan penyediaan ketahanan pangan. Tetapi ini soal SDM Indonesia. Bahkan ketika sebuah bangsa sibuk pada infrastruktur tetapi melupakan SDM, sebenarnya itu sedang mengarah pada kelemahan bahkan kehancuran negeri.

Apakah tidak ada yang tahu dari pihak pemerintah bahwa gaji dosen di Malaysia setara 15 sampai 16 juta rupiah. Lalu kenapa Indonesia tidak memiliki kehendak ke sana?

Sejarah selalu memberikan catatan benderang, pemerintah yang memajukan pendidikan akan sampai pada kejayaan. Saat Islam bersinar di Baghdad, seorang penulis mendapat timbangan dengan bobot emas. Artinya, tak ada kemajuan tanpa pendidikan, yakni adanya orang-orang yang tenang dan fokus menyebarkan cahaya kecerdasan.

Sekarang waktu kita untuk ke 2045 tinggal 20 tahun. Jika kebijakan soal pencerah bangsa ini tak segera diatasi, boleh jadi Indonesia Emas benar-benar mencemaskan.

Seperti bait lagu yang mengingatkan kita untuk merawat negeri ini. Perahu bangsaku, perahu negeriku. Jangan retak dindingmu.

Akhirnya kembali pada pantun yang lagi ramai, “Ubur-ubur ikan lele. Kalau negara ingin makmur, jangan abaikan guru dan dosen, le.”*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *