Buat kebahagiaanmu sendiri! Loh apakah bisa?
Kebahagiaan sering kali diidentikkan dengan pencapaian materi atau keberhasilan sosial yang terlihat oleh mata. Banyak orang merasa baru bisa bahagia ketika menjadi seperti orang lain—memiliki ponsel keluaran terbaru, mengenyam pendidikan di kampus favorit, atau hidup dalam kemewahan. Namun, apakah benar kebahagiaan sejati lahir dari itu semua?
Menurut Al-Qur’an, kebahagiaan sejati adalah kondisi jiwa yang selaras dengan petunjuk Allah. Ia bukan sekadar tentang apa yang terlihat dalam kehidupan dunia, tetapi tentang bagaimana manusia menjalani hidup sesuai nilai-nilai yang telah Sang Pencipta tetapkan.
Ketika standar kebahagiaan orang definisikan berdasarkan dunia luar, manusia mudah terjebak dalam perbandingan yang melelahkan, yang akhirnya menjadi sumber stres dan kegelisahan.
Bahagia dengan Menemukan Nilai Mulia dalam Diri
Al-Qur’an memberikan panduan yang tegas tentang siapa yang benar-benar mulia. Dalam surah Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
Dengan kata lain, kemuliaan tidak bisa orang tentukan berdasarkan status sosial, jabatan, atau kekayaan, tetapi oleh ketakwaan.
Baca Juga: Menulis itu Memulai
Bayangkan seorang penguasa dengan segala atribut mewah—mobil mahal, rumah megah, hingga ratusan pengawal. Apakah itu membuatnya benar-benar mulia? Tidak, jika ia jauh dari iman dan takwa.
Pengawal hanya menjalankan tugas karena protokol, bukan karena kekaguman tulus terhadap sang pemimpin. Tidak sedikit penguasa yang setelah masa jabatannya usai justru merasakan kehampaan karena kehilangan arah dan nilai sejati dalam hidup.
Kebahagiaan yang didasarkan pada ketakwaan berbeda. Ia tidak terikat pada materi atau status, melainkan pada hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya.
Ini adalah kebahagiaan yang tak bisa dicuri oleh siapa pun. Sebuah kebahagiaan yang bersifat abadi, karena bersumber dari keyakinan bahwa hidup memiliki makna yang lebih besar dari sekadar pencapaian duniawi.
Keberuntungan dalam Mensucikan Jiwa
Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa keberuntungan sejati adalah milik mereka yang mensucikan jiwa. Dalam surah Asy-Syams ayat 9-10, Allah berfirman, “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
Mensucikan jiwa bukan tentang memiliki segalanya, melainkan tentang bagaimana manusia membersihkan hati dari iri, dengki, kesombongan, dan kebencian.
Orang yang selalu sibuk mengejar materi tanpa memperhatikan kondisi batinnya, sejatinya tidak pernah benar-benar beruntung. Ia mungkin terlihat bahagia dari luar, tetapi di dalamnya ada kehampaan yang sulit dijelaskan.
Mensucikan jiwa adalah proses yang membutuhkan kesadaran dan usaha. Ia dimulai dengan menerima diri apa adanya, menjalani hidup dengan kejujuran, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam proses ini, manusia belajar bahwa kebahagiaan bukan tentang memiliki yang terbaik menurut standar dunia, tetapi tentang menjadi yang terbaik dalam pandangan Allah.
Langkah Nyata: Jadilah Pribadi yang Bermanfaat
Tugas manusia di dunia adalah berbuat kebaikan dengan sungguh-sungguh. Allah menciptakan manusia dengan tujuan yang jelas: untuk menjadi khalifah di muka bumi dan beribadah kepada-Nya.
Karena itu, fokus kita seharusnya bukan pada membandingkan diri dengan orang lain, melainkan pada bagaimana kita bisa memberikan manfaat.
Bagi pelajar atau mahasiswa, kebahagiaan sejati bisa dimulai dengan belajar sungguh-sungguh dan memiliki gagasan untuk masa depan. Tidak perlu terobsesi menjadi “yang terbaik” menurut standar orang lain.
Jadilah pribadi yang setiap hari melakukan amal terbaik sesuai kemampuan. Kecil atau besar, setiap usaha kebaikan akan dicatat oleh Allah sebagai amal yang bernilai.
Dalam proses ini, kita perlu mengingat bahwa Allah melihat usaha, bukan hasil. Hal ini sejalan dengan firman-Nya dalam surah Al-Baqarah ayat 286: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Bahagia Berdasarkan Versi Diri Sendiri
Menciptakan kebahagiaan versi diri sendiri adalah sebuah perjalanan untuk memahami makna hidup yang sejati. Al-Qur’an mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada ketakwaan, bukan pada pencapaian duniawi yang sering kali menjadi jebakan ego manusia.
Dengan mengikuti petunjuk Allah, kita akan belajar menerima diri sendiri, mensucikan jiwa, dan hidup dengan tujuan yang lebih mulia.
Mari kita berhenti membandingkan diri dengan orang lain dan mulai menciptakan kebahagiaan yang abadi. Kebahagiaan yang berakar pada cinta kepada Allah, syukur atas nikmat-Nya, dan usaha menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Karena di akhir perjalanan, hanya takwa dan amal kebaikan yang akan membawa kita kepada kebahagiaan sejati.*