Judul tulisan kali ini agak “kencang” teman-teman: antara ibadah dan tembok. Tentu keduanya penting. Tapi mengapa kali ini perlu saya “benturkan”, mari kita simak lebih dalam.
Pikiran itu melesat setelah saya mengikuti diskusi literasi di Dewan Da’wah pada Selasa lalu (7/10/25). Saya tersadar akan sebuah ironi besar dalam arus kehidupan masyarakat kita. Dan, ini terinspirasi dari ungkapan Tohir Bawazir yang bertindak sebagai narasumber.
Menurut dia umat ini begitu bersemangat menggalang dana untuk membangun masjid yang megah, berlomba meninggikan kubah dan menara, namun ada satu “ibadah” agung yang tampaknya redup dari perbincangan: ibadah literasi.
Saya merenung, tampaknya benar, kita jarang menghubungkan kata literasi dengan ibadah. Padahal apapun aktivitas umat Islam yang mengarah pada penguatan iman hakikatnya ibadah.
Tapi memang membangun masjid itu pahalanya jelas dan tegas. Haditsnya langsung dan terang. Tetapi soal literasi, rasanya belum ada hadits langsung akan hal itu.
Jadi sekilas tampak wajar kalau umat Islam sangat tertarik membangun masjid. Meski kita seharusnya paham membangun manusia juga urgen luar biasa.
Bangun Manusia dengan Literasi
Saat kita merenung lebih dalam, kita memang butuh manusia yang siap membawa kebaikan. Hal paling sulit dalam kehidupan ini adalah membangun manusia.
Sementara itu fenomena yang ada tampak terjadi penyempitan makna ibadah. Amal jariyah seolah identik dengan donasi untuk bangunan fisik. Tentu, itu adalah perbuatan mulia. Namun, bangunan paling megah sekalipun tidak akan pernah melahirkan peradaban jika penghuninya memiliki akal yang kerdil.
Saya juga teringat ungkapan seorang pengusaha, mengapa dia memberi bantuan kepada guru dan dai. “Karena mereka adalah soft asset umat. Tanpa mereka apa arti gedung tinggi”.
Kalau kita pikir lebih dalam, kita akan setuju. Sejarah membuktikan, peradaban besar tidak lahir dari kemegahan fisik semata, tetapi dari kedalaman berpikir dan kekuatan literasi para penghuninya.
Oleh karena itu membangun manusia adalah esensi dari membangun peradaban itu sendiri. Islam memandang ini sangat penting. Bahkan dalam situasi perang sekalipun harus ada sekelompok anak muda yang tekun menuntut ilmu. Jangan semua pergi ke medan tempur (QS. At-Taubah: 122).
Keterpaduan
Meski realitasnya demikian kita tidak perlu memisah-misahkan, bahwa jangan bangun masjid tapi bangun manusia. Kita padukan saja, bangun masjid ya bangun manusia.
Apalagi generasi muda kita sekarang harus berhadapan dengan dilema serius: memilih bacaan menyenangkan yang melenakan atau bacaan bergizi yang mengajak berpikir dan berbuat.
Ketika arus informasi hiburan lebih deras, daya kritis berisiko tumpul dan kepekaan terhadap isu umat dan bangsa bisa terkikis. Tanpa asupan bacaan yang membangun, kita sedang menyiapkan generasi yang piawai menjadi konsumen, bukan produsen gagasan.
Semengara masjid belum bisa bertransformasi menjadi lokus yang favorit kehidupan anak-anak muda dalam 24 jam. Perhatikan saja, banyak masjid jamaahnya orang yang secara usia memang sudah tidak muda. Mengapa anak muda tidak tertarik ke masjid?
Maka, inilah saatnya kita menggaungkan kembali “ibadah literasi”. Mari kita mulai dari diri sendiri, dari rumah, dan dari komunitas terkecil. Bahkan dari masjid kita.
Saatnya kita menjadikan membaca, berpikir, dan menulis sebagai bagian dari wirid harian kita. Sebab, dari akal yang tercerahkanlah, akan lahir karya-karya agung yang melampaui usia tembok paling kokoh sekalipun.
Kini mari kita desain kemegahan masjid sebagai generator yang menghasilkan energi lahirnya generasi kaya literasi, aksi dan dedikasi kepada Ilahi. Tembok masjid boleh kokoh, akidah generasi tak boleh roboh. Inilah tantangan bagi akal kita semua di era ini.*