Mas Imam Nawawi

- Kisah

Ayah, Ketidakhadiranmu dalam Pengasuhan Anak Sangat Berbahaya

Menjelang siang (8/10/25) saya melakukan perjalanan Depok-Jakarta. Sembari mengisi waktu saya membaca artikel di Kompas.id: “Mereka yang Kehilangan Sosok Ayah Alami Gangguan Psikologis”. Artikel itu menjadikan pandangan 16 psikolog sebagai dasar dalam melihat kondisi anak yang kehilangan sosok ayah. Hal itu membuat anak berpotensi mengalami gangguan psikologis, seperti depresi, kecemasan dan kesepian. Usai membaca itu, […]

Ayah, Ketidakhadiranmu dalam Pengasuhan Anak Sangat Berbahaya

Menjelang siang (8/10/25) saya melakukan perjalanan Depok-Jakarta. Sembari mengisi waktu saya membaca artikel di Kompas.id: “Mereka yang Kehilangan Sosok Ayah Alami Gangguan Psikologis”.

Artikel itu menjadikan pandangan 16 psikolog sebagai dasar dalam melihat kondisi anak yang kehilangan sosok ayah. Hal itu membuat anak berpotensi mengalami gangguan psikologis, seperti depresi, kecemasan dan kesepian.

Usai membaca itu, sepulang dari Jakarta, saya panggil anak perempuan saya. “Apakah ananda merasa kehilangan sosok Abah?”

Ia tegas menjawab, “Tidak!”

“Abah selalu membaca, menulis dan bekerja keras untuk masa depan anak-anaknya,” imbuhnya menjelaskan.

Dalam hati saya berkata, selamat ini. Jangan sampai anak saya justru merasa ayahnya tidak hadir.

Ayah dalam Alquran

Sebelum membahas lebih jauh, kita semua memahami bahwa berbagai persoalan anak dalam kehidupan bermula dari kurang optimalnya peran keluarga (bisa ayah saja, bisa ibu saja, bisa kedua-duanya). Bahkan seandainya keluarga hanya menitikberatkan peran pendidikan hanya kepada ibu, problem juga masih akan muncul.

Dalam kata yang lain kita butuh untuk memahami apa dan bagaimana peran ayah yang Alquran gambarkan untuk jadi teladan kita.

Ternyata, ayah punya peran strategis. Tidak cukup hanya sebatas interaksi positif dengan anak. Seorang ayah mesti juga memperhatikan perkembangan anak, terlihat dekat dengan nyaman.

Luqman adalah seorang ayah hebat. Alquran dalam Surah Luqman ayat ke-13-15 menerangkan bahwa seorang ayah harus bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya. Konsentrasi Luqman sebagai ayah memastikan anak tidak syirik, mendirikan shalat dan aktif dalam gerakan sosial amar ma’ruf nahi munkar.

Jadi, ayah itu tidak cukup mencari nafkah bagi anak-anaknya. Walakin juga penting mendidik iman dan tauhid mereka. Seorang ayah bahkan harus bisa memastikan anak-anaknya punya empati dan kepekaan terhadap soal-soal sosial. Tidak cukup anak hanya pandai bekerja lalu abai terhadap sesama.

Anak-anak yang hanya bisa bekerja tapi abai dalam hal sosial, kalau jadi pemimpin akan selalu membuat susah orang lain. Sebab dia memang tidak punya bekal paling utama untuk memimpin, yakni empati.

Mari Jadi Ayah Lagi

Berdasarkan paduan fakta dan petunjuk Alquran maka tugas kita sekarang sebagai suami dan bapak adalah yuk menjadi ayah lagi.

Sebab anak yang kehilangan figur ayah menjadi pribadi yang tidak bisa mengontrol diri. Baik kaitannya emosi maupun pengelolaan dalam pengambilan keputusan. Demikian seperti Kompas.id laporkan dari pandangan Hanifah, psikolog di Bandung, Jawa Barat.

Saya juga pernah menonton film “Teskilat” yang bercerita sosok intelejen bernama Omer. Hingga dewasa ia tak pernah tahu siapa ayahnya. Padahal sang ayah ada dekat dengan kehidupannya. Alhasil Omer tumbuh menjadi pribadi yang kaku dan tidak mudah percaya kepada orang lain.

Kembali ke soal menjadi ayah kembali. Caranya bagaimana? Mulai berinteraksi dengan anak-anak. Cek emosi mereka.

Kalau emosi anak stabil, boleh jadi kita telah berperan dengan baik sebagai ayah. Tapi kalau labil dan cenderung tidak terkontrol, maka ingat anak butuh kita sebagai ayah.

Tetap cari nafkah tapi jangan lupa kebutuhan anak kita yang haus akan kehadiran, teladan dan pemupukan akidah dalam dada mereka.*

Mas Imam Nawawi