Home cerita Ketika Ayah Tiada
Ketika Ayah Tiada

Ketika Ayah Tiada

by Imam Nawawi

Menjadi anak yatim adalah hal yang mengejutkan bagi Tohir. Bagaimana tidak, ia baru saja merasakan sosok ayah yang begitu perhatian dan senang selalu duduk bersamanya saat sore. Esok paginya ia mendapati sang ayah telah meninggal dunia.

Tohir tidak saja menangis selama berhari-hari bagai hujan lebat yang turun begitu panjang.

Ia juga mengalami degradasi mental. Anak yang masih makan disuapin oleh ibunya itu tak mengerti mengapa ayahnya meninggal dunia saat dirinya masih kecil.

Tohir benar-benar seperti daun pepohonan yang layu. Warna hijau semakin pucat, tak tampak gairah untuk tumbuh kuat.

Sebulan berlalu, tiga bulan berselang, Tohir benar-benar berubah.

Anak yang gemar ke mushola mengumandangkan adzan itu enggan lagi bertemu teman-temannya. Ke mushola pun hanya untuk shalat. Tohir selau menolak kalau diminta adzan lagi, seperti saat mendiang ayahnya masih ada.

Fix, Tohir jadi pendiam, kurang percaya diri lagi. Dan, hatinya terkuasai rasa khawatir tingkat tinggi. Seperti awan gelap yang menjadikan pukul 12 siang seperti akan Maghrib.

Baca Juga: Jangan Pernah Lelah dalam Keimanan

Di sekolah, teman-temannya kelas 1 SD merasa Tohir benar-benar telah berganti watak.

Dibakar Rindu

Waktu berganti, Tohir tumbuh dewasa. “Tuhan tak pernah salah, selalu kaya hikmah dalam setiap musibah. Tohir kini menjadi sosok pemimpin yang sangat peka terhadap rakyat.”

Itulah ungkapan tokoh desa yang tidak lain guru mengaji Tohir.

Tohir memang telah setengah dekade menjadi kepala desa. Sejak ia memimpin, perubahan drastis terjadi. Nyaris di semua sektor perubahan merambat dan mengubah kehidupan masyarakat.

Dari sisi ekonomi, pertanian di desa yang berada di kaki gunung Pangrango itu terus menggeliat. Produksi padi masyarakat meningkat.

Syamsuddin, sosok pemuda lulusan sebuah fakultas pertanian dari Bogor yang dapat beasiswa dari pemerintah desa, mampu mengolah kencing sapi sebagai pupuk sekaligus pestisida.

Masyarakat yang biasa hanya menghasilkan 3-4 ton dalam sehektar sawah, empat tahun berjalan, meningkat menjadi 5-8 ton gabah per hektar.

Sisi pendidikan juga demikian. Dahulu desa itu hanya punya SD dan SMP, kini telah memiliki SMA baru. Anak-anak desa tak lagi perlu berjam-jam menempuh perjalanan dengan angkot untuk bisa sekolah di kota kecamatan.

Kaum muda pun aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Mulai dari organisasi desa, masjid, sampai pertanian. Tak ada anak muda yang kalau malam Minggu nongkrong di perempatan jalan sambil main gitar bernyanyi tanpa arah.

Menyaksikan itu, Tohir setiap malam ternyata selalu merindukan sang ayah. “Ayah, andai engkau ada, bahagia sekali diriku dengan apa yang Allah anugerahkan kepadaku ini.”

Senjata

Dan, sebuah jawaban terungkap. Tepat ketika Rozikin dan Majelis datang ke desa yang mulai viral di media sosial itu untuk sebuah keperluan riset skripsi.

Baca Lagi: Dicari Pemimpin yang Mengayomi

“Apa yang menjadi strategi Pak Tohir sukses membangun masyarakat desa ini?”

Tohir menatap dua mahasiswa culun dari Depok itu dengan tajam. Tak berapa lama, Tohir menghirup udara begitu dalam.

“Adik-adik, saya melakukan ini karena pesan ayah. Ketika itu, setiap sore saya biasa duduk bersama ayah. Dan, ayah biasa berkisah. Salah satu kisahnya adalah tentang Nabi Yusuf. Ia Nabi yang ahli dalam memakmurkan masyarakat. Tohir, kamu bisa ya seperti itu,” Tohir memaparkan.

“Sejak itu saya tidak pernah berhenti berdoa. Ya Allah, jika pesan ayahku adalah baik bagiku, berilah jalan saya menjadi pemimpin yang bisa membela anak-anak yatim seperti diriku dahulu. Berikan saya kekuatan membahagiakan para janda dan orang-orang dhuafa di desa ini. Dan, berkahilah aku dalam memimpin rakyat desaku ini,” Tohir menambahkan.

Ternyata Ustadz Ridwan, guru ngaji Tohir saat masih belia mendengar penjelasan itu. Dari pagi sang guru telah ada di balai desa untuk mengurus perluasan tanah wakaf sebelah mushola.

“Begitulah perjalanan hidup, setelah kesulitan ada kemudahan. Tohir dulu anak yatim, tetapi kini menjadi pelindung anak-anak yatim.”

Semua saling bertatapan. Tohir tersenyum dan segera menyongsong tangan sang guru lalu menciumnya sepenuh hati. Tak ubahnya saat Tohir masih kecil selalu ingin terdepan mencium tangan sang guru.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment