Dahulu, mencari ilmu terasa sulit. Forum ulama, ceramah tokoh besar, atau kuliah ilmuwan ternama, semua itu susah diakses. Kita harus datang langsung. Namun, hari ini segalanya berubah drastis. Berinteraksi dengan gagasan hebat menjadi mudah. Misalnya, kita ingin mendengar kajian Ustadz Adi Hidayat. Kita cukup membuka YouTube. Artinya, kita bisa membangun impian dan membentuk lingkungan digital yang progresif dari rumah.
Sayangnya, kemudahan ini membawa tantangan besar. Dengan lebih dari 268 juta penduduk Indonesia terhubung ke internet, sebagian besar malah terjebak.
Banyak yang terlena dengan pinjaman online. Bahkan, tak sedikit yang terperosok dalam jebakan judi. Lebih parah lagi, sebagian besar mengonsumsi konten bermutu rendah. Akibatnya, fenomena ‘brain rot’ menjadi sangat masif.
Kompetensi Berlingkungan Digital
Dunia digital adalah lingkungan baru yang memerlukan keahlian. Dalam dunia maya, seseorang butuh yang namanya kompetensi berlingkungan. Kita bisa menyebutnya ‘The Digital Garden’.
Ini adalah upaya merawat ruang digital kita agar subur dan produktif.
Jika kita merujuk pada pandangan Abraham Maslow, kompetensi adalah buah dari kepuasan pencapaian pribadi. Kepuasan ini lantas membangkitkan rasa percaya diri.
Hal ini membentuk kecakapan dan kemapanan dalam bertindak. Meskipun demikian, over confidence bukanlah ciri pribadi yang kompeten. Lalu, apa arti orang yang kompeten secara digital?
Orang yang kompeten dalam lingkungan digital adalah mereka yang fokus. Mereka hanya mengambil manfaat terbaik demi tujuan hidup yang bernilai dan mulia.
Oleh karena itu, ia punya fokus kurasi input. Mereka tidak mengkonsumsi apa pun yang tidak mendukung tujuan hidupnya.
Selain itu, mereka mudah menerapkan minimalisme aplikasi. Ini berarti kita berani menghapus aplikasi yang fungsinya hanya sebagai “pencuri waktu.”
Ini bisa berupa game atau hal destruktif lainnya. Terakhir, mereka menguasai ‘second-order thinking’. Ini adalah kemampuan menjawab pertanyaan dari setiap aktivitas digital. Misalnya, “Apa untungnya kalau saya membuka media sosial sekarang?”
Interpretasi Psikologis: Kebijaksanaan Diri (Ego Strength)
Fenomena ini selaras dengan konsep Kebijaksanaan Diri (Ego Strength) dalam psikologi. Ego Strength adalah kemampuan diri untuk menghadapi realitas dan menahan dorongan instingtif.
Ketika kita gagal menerapkan kurasi input atau minimalisme aplikasi, kita menyerah pada kesenangan instan (instant gratification).
Ahli psikologi seperti Sigmund Freud mungkin menafsirkannya sebagai kegagalan Ego (realitas) dalam mengendalikan Id (dorongan kesenangan).
Orang yang kompeten digital punya Ego Strength yang kuat. Mereka mampu menunda kesenangan demi manfaat jangka panjang.
Sebab itu, mereka berhasil membentuk lingkungan digital yang progresif.
Seperti kata pepatah umum: “Disiplin adalah memilih antara apa yang kamu inginkan sekarang dan apa yang paling kamu inginkan.”
Dalam era digital, disiplin adalah kunci untuk menjaga akal sehat kita.