Mas Imam Nawawi

- Opini

Dakwah Digital Perlu Kita Pintal

Digital merupakan ruang “bebas”. Kini kata dunia digital bisa jadi sarana siapapun untuk beramal, termasuk berdakwah secara insidental atau bahkan secara total. Pertanyaannya bagaimana kalau kita baru akan memulai atau menguatkan dakwah digital? Pada tahap ini kita perlu memahami kata “pintal”. Mengapa perlu kita pintal? Karena dakwah digital tak bisa seorang diri. Perhatikan saja para […]

Dakwah Digital

Digital merupakan ruang “bebas”. Kini kata dunia digital bisa jadi sarana siapapun untuk beramal, termasuk berdakwah secara insidental atau bahkan secara total. Pertanyaannya bagaimana kalau kita baru akan memulai atau menguatkan dakwah digital? Pada tahap ini kita perlu memahami kata “pintal”.

Mengapa perlu kita pintal? Karena dakwah digital tak bisa seorang diri.

Perhatikan saja para Ustadz kondang di dunia digital, mereka punya videografer, editor, manajemen sosial media dan seterusnya. Menunjukkan kepada kita bahwa sejatinya dakwah digital butuh konsep, kerapian dan tentu saja kesungguhan.

Meskipun kata pintal artinya berkaitan dengan soal benang atau tali. Hal itu menunjukkan kepada kita bahwa dakwah digital memang benar-benar harus kita siapkan.

Dalam sharing bersama peserta Kursus Muballigh Profesional yang digelar oleh Korps Muballigh Hidayatullah (KMH) di Jakarta (21/6/25). Saya menyebutkan ada 3 hal yang harus jadi bahan kita memintal bahan untuk dakwah digital.

Pertama, membaca sesering mungkin dan sepaham mungkin.

Mengapa membaca jadi alat “memintal” yang pertama? Karena dakwah itu mengajak. Tentu kita akan mencabarkan masyarakat maya ke dalam ajaran Islam. Memahami dan merasakan indahnya ajaran Islam. Semua itu hanya mungkin kalau kita tekun membaca.

Oleh karena itu perintah Allah yang pertama dan utama adalah Iqra’ Bismirabbik.

Caranya bagaimana? Membaca sejatinya bukan soal berapa halaman yang telah kita tatap. Akan tetapi sesering apa kita membaca; baik buku, pengalaman, realita, dan lainnya. Kemudian sedalam apa kita memahaminya.

Inti membaca itu paham, lalu terbentuk kesadaran dan terdorong untuk melakukan tindakan. Membaca yang tak melahirkan aksi, sama dengan pohon yang tumbuh besar namun tak bisa mengeluarkan buah.

Kedua, konsisten mengupload konten dakwah.

Orang boleh hidup dengan cita-cita sangat tinggi, tapi tanpa memulainya semua itu hanya utopia. Apalagi ketika memulai mentalnya tak siap konsisten. Pasti mental dakwahnya akan labas.

Dua orang peserta memberi penekanan pada konsistensi itu. Umumnya orang gagal konsisten karena merasa dakwah di dunia digital itu makan waktu. Memang begitu!

Akhirnya karena panjang dan berulang, sebagian memilih tumbang. Padahal, mereka yang masuk dunia digital dengan maksud tidak baik pun sama. Mereka lelah, mereka juga payah dan pasti mereka ingin menyerah. Tapi apakah mereka berhenti? Tidak!

Lalu apa syarat untuk bisa konsisten? Tajamkan niat dan tekad. Jangan berhenti dalam kebaikan dakwah digital apapun yang terjadi. Tidak bisa sempurna, tidak masalah. Satu hal yang pasti jangan berhenti, apalagi mundur, terus kabur.

Ketiga, bangun komunitas dakwah digital.

Tadi saya sudah ungkap, bahwa dakwah digital tidak bisa sendirian.

Artinya sesama dai digital, kita harus berkomunitas. Kemudian saling dukung secara sadar. Dalam dunia politik dulu kita kenal istilah buzzer. Mereka adalah “komunitas” yang dibentuk atas dasar kepentingan dengan bahan bakar uang yang besar.

Sebagai pegiat dakwah kita tak mungkin seperti itu. Tetapi kalau kesadaran kita tumbuh apalagi satu, dampak dari komunitas yang kita bentuk akan lebih hebat dari gerakan apapun yang dasarnya adalah materi.

Namun sayang, untuk kepentingan ini, benar-benar butuh kesabaran dalam mengajak, menguatkan dan menyatukan langkah.

Pada soal yang paling sulit inilah, dakwah digital perlu kita pintal menemukan relevansinya untuk kita jawab bersama. Mari kita mulai. Bismillah.*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *