Kata “yatim” seringkali dikaitkan dengan anak-anak yang kehilangan orang tua. Namun, konsep yatim bisa lebih luas dari itu. Yatim bisa menjadi metafora untuk menggambarkan kondisi seseorang yang harus berjuang sendiri dalam hidup. Yatim bisa kita ambil sebagai konsep utama guna bangun kesadaran diri untuk survive.
Baca Juga: Pandangan Ustadz Abdullah Said Perihal Pembangunan yang Utama
Abdullah Said, pendiri Hidayatullah, menggunakan konsep yatim untuk mendidik santri dan kader-kadernya agar senantiasa bergantung kepada Allah. Beliau ingin membangkitkan kesadaran bahwa manusia pada hakikatnya adalah yatim, selalu membutuhkan pertolongan dari Allah.
M. Assad, dalam bukunya “Note from Qatar”, menceritakan pengalamannya saat menempuh pendidikan S2 di Qatar. Pilihan itu membuatnya harus rela jauh dari keluarga selama 9 tahun.
Jauh dari keluarga dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru, Asad merasakan sendiri bagaimana hidup sebagai “yatim”. Kesendirian dan berbagai rintangan yang dihadapi menjadi ujian baginya untuk terus tumbuh dan kuat.
“Pertama dari kondisi cuaca. Qatar itu puanassss buangetttt!! Subhanallah banget panasnya, ditambah lagi waktu itu bulan Agustus sedang Ramadhan dan saya pun tetap berpuasa. Panasnya ini bukan seperti panas biasa di Jkarta, tapi panas kering yang menusuk leher dan kerongkongan sampai ke akar-akarnya hehehe…,” tulis Asad.
Kisah Assad menunjukkan bahwa konsep yatim bisa menjadi alat yang powerful untuk mendidik diri. Dengan menyadari bahwa kita adalah yatim, kita akan lebih terdorong untuk maju dalam kebaikan dan kemaslahatan.
Buah
Jadi kita bisa melihat langsung bahwa konsep ini memberikan buah kebaikan bagi diri.
Pertama, Membangun kesadaran tauhid.
Kita akan lebih yakin bahwa Allah adalah satu-satunya tempat bergantung dan bersandar.
Kedua, meningkatkan kesanggupan menghadapi tantangan.
Ketiga, kita akan lebih termotivasi untuk bangkit dan pantang menyerah dalam menghadapi berbagai rintangan.
Keempat, memperjelas diri dalam merajut masa depan dengan perjuangan kebaikan.
Baca Lagi: Merawat Cita-Cita Kita
Kelima, kita akan lebih fokus untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat dan bernilai positif.
Kisah Tangguh
Pada tahun 2000 ada seorang remaja yang memutuskan meneruskan pendidikan ke tingkat SMA. Pilihan itu benar-benar tidak mudah, karena ia harus rela mengayuh sepeda sepanjang 14 km pulang pergi dengan medan jalan naik dan turun gunung.
Terlebih karena ia aktif, sekolah meminta ia masuk sebagai pengurus OSIS. Masa terberat baginya adalah ketika harus berkegiatan sore hari di sekolah. Ia harus pulang lebih dahulu dan kembali lagi, artinya dalam momen seperti itu ia mengayuh sepeda 28 km.
Pernah saat ia mendaki gunung sambil mendorong sepeda, haus sangat kuat mencekik lehernya. Sempat ia menyesali keputusannya sekolah ke SMA. Namun segera ia sadar, bahwa situasi berat yang hari itu dihadapinya akan memberi jalan kebaikan di masa depan. Ia segera punya kekuatan lagi. Dan, tak pernah terganggu dengan pikiran-pikiran untuk mengeluh dan bimbang.
Bonusnya, anak itu bisa lulus sekolah dengan hasil yang baik. Bahkan dapat melanjutkan kuliah dan terus berkiprah kebaikan dalam kehidupannya. Nasihat sang guru selalu ia amalkan, “Tidak ada kekuatan yang lebih dahsyat selain daripada ketekunan dan kesabaran.”
Survive
Kesadaran diri untuk survive sebagai yatim bukan berarti kita harus meratapi nasib. Justru, dengan kesadaran ini, kita akan lebih tergerak untuk menjadi pribadi yang tangguh, mandiri, dan selalu bergantung kepada Allah.
Konsep yatim ini bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagai pelajar, kita bisa menggunakan konsep ini untuk memotivasi diri belajar dengan giat dan mencapai cita-cita.
Sebagai pekerja, kita bisa menggunakan konsep ini untuk meningkatkan etos kerja dan menghadapi berbagai tantangan di dunia profesional.
Mari kita jadikan konsep yatim ini sebagai alat untuk mendidik diri dan menjadi generasi yang survive, tangguh, dan selalu bergantung kepada Allah.*