Yakinkan diri bahwa Innallah Ma’ana (Allah membersamai diri kita) adalah pesan pamungkas Ustadz Aqib Junaid kepada Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah yang sedang menjalani proses pleno dalam beberapa waktu ini.
Pesan itu menjadi konklusi utama usai injeksi spirit iman, ilmu dan amal yang Ustadz Akib sampaikan kepada kami semua di Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah itu selama lebih dari 2 jam lamanya.
Saya sendiri sangat bahagia menyimak ulasan, argumen, bahkan anekdot yang beliau sampaikan. Bahasanya ringan namun sangat merangsang akal untuk terus berpikir ilmiah.
Baca Juga: Menjadi Bahagia
Dan, satu hal yang khas dari Ustadz Aqib adalah artikulasi yang beliau sampaikan dalam memaknai ayat, selalu mengundang saya dalam pikiran untuk terus menemukan sisi-sisi ilmiah. Satu hal yang sebenarnya melekat dalam Alquran dan banyak orang ingin lihat dan buktikan.
Tapi mampu mengartikulasikan ayat secara hidup walau kandungannya bersifat historis, tidak akan bisa disampaikan, melainkan oleh orang yang memang tepat dalam membaca dan mampu mengkonversinya sebagai energi untuk menatap masa depan.
Proses
Meyakinkan diri bahwa Allah membersamai hidup kita butuh proses. Tidak tiba-tiba hadir dalam diri seseorang.
Ini juga bukan motivasi yang biasa diberikan para motivator. Ini kesadaran bahwa diri kita memang seutuhnya dalam genggaman Allah.
Jadi, sejauh ada keyakinan diri bahwa menolong agama Allah ini adalah perintah-Nya, tidak akan pernah ada keempatan diri berpikir bahwa Allah tidak membersamai.
Sebaliknya, ketika seseorang hidup hanya mengejar hal yang fatamorgana, terpedaya oleh warna-warni dunia, sudahlah pasti ia yakin bahwa tidak mungkin Allah membersamainya.
Oleh karena itu sikap dan cara berpikir orang yang menjauh dari Allah, apalagi melawan, akan tidak jelas pikiran dan perbuatannya. Aneh dan bahkan akal sehat orang umum melihat, itu piiihan yang membinasakan.
Dalam kata yang lain, hiduplah dengan niat yang lurus, tulus dan bahkan ikhlas karena Allah dalam menjalani kehidupan ini.
Tidak ada sandaran terbaik selain Allah. Ketika manusia takut dan rasa takut itu mendorong ia melemahkan iman, maka ia merugi. Sejauh tidak sadar dan kembali, maka selamanya ia merugi.
Akan tetapi kalau seseorang sadar bahwa dirinya sebagai hamba harus bergantung hanya kepada Allah, sesulit apapun realitas yang dihadapi. Atau manusia memandang sebagai perlu dikasihani, sesungguhnya dia adalah orang yang sukses.
Ingat, Alquran itu menceritakan hanya dua kondisi manusia. Pertama, manusia sukses karena beriman dan beramal sholeh. Kedua, orang gagal, karena kafir dan zalim.
“Bakar” Diri
Pesan yang tak kalah heroik adalah siapkan jiwa untuk “membakar” diri. Ini seperti ungkapan Muhammad Iqbal dalam satu syairnya, “Bungkus dirimu dalam api. Jadilah seorang Ibrahim.”
“Bakar” diri merupakan refleksi Ustadz Aqib terhadap kehidupan Nabi Ibrahim yang keyakinannnya kepada Allah totalitas.
Keyakinan totalitas itu menjadi bukti bagi Siti Hajar untuk menerima perintah Allah agar Nabi Ibrahim meninggalkan sang istri beserta bayi bernama Ismail di padang pasir, yang tak ada tanda-tanda kehidupan.
Dan, keyakinan itu berhasil Siti Hajar transformasikan kepada Nabi Ismail, sehingga kala turun perintah agar Nabi Ibrahim menyembelih putranya.
Baca Lagi: Sahabat dalam Setengah Abad Hidayatullah
Ismail mantap dengan berkta, “Kalau memang itu peritnah Allah, lakukan. Insha Allah saya akan menjadi orang yang sabar.”
Kenapa Ismail yakin, karena sang ibu adalah orang yang yakin. Kenapa sang ibu yakin, karena ia melihat Nabi Ibrahim yang benar-benar yakin kepada Allah. Buktinya adalah ketika Nabi Ibrahim dibakar oleh Namrudz karena urusan iman.
Jadi, kalau kita ingin menjadi manusia yang memiliki kontribusi menebarkan virus kebaikan untuk teguhnya iman dan takwa orang lain, kita sendiri harus meyakini bahwa Allah itu Tuhan. Persis seperti langkah Nabi Ibrahim. “Membakar” diri dalam iman.*