Hari mulai menyajikan cahaya mentari agak terik pada Sabtu, 30 Desember 2023. Saya masih nyaman membaca, mulai buku hingga artikel di internet. Satu artikel menarik bersumber dari gagasan Ketum PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir. Pesannya jelas, kita perlu mewaspadai pendangkalan politik.
”Kami tidak ingin pendangkalan politik dan disorientasi kenegaraan terjadi karena proses pemilu yang serba pragmatis, yang serba oportunistik, yang hanya mementingkan kemenangan,” ujarnya saat diskusi ”Refleksi Akhir Tahun 2023” bersama sejumlah pemimpin redaksi media massa di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (28/12/2023) seperti dilansir oleh kompas.id.
Pendangkalan politik itu bisa berbentuk politik uang, politik simulacra, dan politik transaksional alias politik dagang sapi.
Baca Juga: Politik Progresif Beradab
Menghendaki kemenangan itu hak setiap capres dan cawapres. Namun menang secara bermartabat itu harus dalam konteks etika, moral dan spiritual.
Rakyat Kudu Paham
Mewaspadai pendangkalan politik tidak bisa hanya mendorong para kandidat mau komitmen pada etika, moral dan spiritual. Rakyat pun mesti paham.
Oleh karena itu rakyat harus memilih dengan hati nurani. Melihat dengan cermat mana kandidat yang punya rencana dan visi misi yang bisa mereka wujudkan berdasarkan kapasitas pribadi, pengalaman kerja dan tentu saja rekam jejak.
Jika rakyat sampai memberi “cek kosong” maka nasib 260 juta rakyat Indonesia dalam 5 tahun ke depan akan jadi taruhan.
Tingkatkan Kualitas Debat
Lebih spesifik, Haidar tidak lupa menyoroti soal debat capres dan cawapres yang telah berlangsung.
”Kalau yang ada di pikiran mereka memenangi debat itu lewat cerdas cermat, betapa jauhnya dari sejarah, karakter, dasar nilai, dan prinsip-prinsip konstitusi kita,” kata Haedar.
Artinya, biarkan saja rakyat melihat dengan gamblang, bagaimana kemampuan dan kapasitas masing-masing kandidat.
Baca Lagi: Desain Politik 2024
Hadirkan debat secara fair, terbuka dan apa adanya, agar rakyat tidak terjebak politik simulacra.
Bahwa debat yang lalu menampilkan “gaya cerdas cermat” maka selanjutnya biarkan para kandidat berjuang ekstra menyampaikan gagasan mereka melalui debat yang memang original dan terbuka.*