Home Opini UU IKN Akankah Sama Digugat Seperti UU Ciptakerja?
UU IKN Akankah Sama Digugat Seperti UU Ciptakerja?

UU IKN Akankah Sama Digugat Seperti UU Ciptakerja?

by Mas Imam

UU IKN Akankah Sama Digugat Seperti UU Ciptakerja? Selasa, 18 Januari 2022 publik kembali heboh dengan adanya penetapan RUU Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-undang. Sebuah pengesahan penting yang menurut sebagian pihak masuk rekor tercepat.

Seperti biasa, proses yang cepat untuk ketetapan berskala sangat besar (Ibu Kota Negara) sangat potensial mendapat gugatan publik, sebagaimana UU Cipta Kerja di MK.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, mencatat pembahasan RUU IKN hanya berlangsung dua minggu bila dikurangi masa reses DPR. “Pembahasan RUU IKN ini hanya seminggu sebelum DPR reses dan seminggu setelah reses,” kata Lucius dalam diskusi virtual, Selasa (18/1), seperti yang dilansir katadata.

Pembahasan RUU IKN berawal dari Surat Presiden kepada DPR pada 3 Desember 2021. Kemudian DPR membentuk Panitia Khusus RUU IKN pada 7 Desember, selanjutnya dibahas hingga DPR memasuki masa reses pada 16 Desember 2021. Pembahasan berlanjut setelah masa reses berakhir dan dimulainya masa sidang pada 11 Januari 2022. Hingga diselesaikan pada rapat maraton 16 jam pada 18 Januari.

“Ini mungkin rekor tercepat DPR dalam membahas sebuah RUU, kalau Omnibus Law UU Cipta Kerja itu kan hanya sebulan,” kata Lucius melanjutkan.

Proses yang demikian tentu membatasi partisipasi publik. Seperti putusan MK terhadap UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat karena dinilai ada partisipasi publik yang secara prosedur tidak dilibatkan.

Baca Juga: Mengapa Banjir yang Terjadi di Zaman Nabi Nuh Masih ada Sampai Sekarang?

Masih dari Katadata, ekonom Faisal Basri telah menyatakan rencana untuk melakukan ujimateri UU IKN selain juga membuat petisi.

“Saya tidak anti pemindahan ibu kota tapi perlu ada persiapan rencana induk yang bagus melibatkan masyarakat,” kata Faisal.

Sementara itu dinamika di DPR hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak untuk dibawa ke dalam Rapat Paripurna.

“Ini tak hanya bertentangan dengan UUD 1945 tapi juga berpotensi melahirkan otoritarianisme,” kata Anggota Pansus RUU IKN dari PKS, Suryadi Jaya Purnama.

Sementara itu, Tifatul Sembiring menilai keputusan itu terburu-buru.

“Pemerintah kian gelisah. Tergopoh-gopoh ibu kota nak dipindah. Sedang keuangan pun lagi susah. Peduli apa, ini maunya ki Lurah?” kata Tifatul lewat akun Twitter pribadinya, Selasa (18/1) seperti dilansir oleh cnnindonesia.

Tugas Dasar Pemerintah

Pandangan yang berbeda dengan DPR dan Pemerintah tentang UU IKN tentu juga memiliki argumentasi kuat. Terlebih kala melihat kondisi masyarakat di negeri ini yang masih harus berjuang usai menghadapi wabah Covid-19.

Sebagaimana jamak kita pahami, tugas utama pemerintah adalah bagaimana mensejahterakan rakyat. Dalam literatur Islam, para ulama memberikan uraiannya. Seperti tertuang dalam buku Keuangan Publik Islami Pendekatan Teoretis dan Sejarah karya Nurul Huda dkk.

Pertama, Imam Abu Yusuf (113-182 H). Beliau menjelaskan bahwa negara bertanggung jawab untuk memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi rakyatnya, sekalipun mereka adalah para penjahat yang berada dalam tahanan penjara.

Kemudian negara memiliki kewenangan yang memadai untuk mendapatkan cara terbaik memberdayakan sumber-sumber daya alam yang belum tersentuh sama sekali untuk meningkatkan efisiensi dari sumber daya yang kurang termanfaatkan.

Kedua, Abu Ubaid (155-244 H). Adalah tugas negara menegakkan kehidupan sosial berdasarkan nilai-nilai keadilan yang dissariatkan seperti penerapan zakat dan menumbuhkan kepedulian sosial.

Kemudian pemerintah harus menjaga keamanan, meningkatkan kesejahteraan, melindungi hak-hak rakyat, mengatur kekayaan publik dan menjamin terpeliharanya maqashid syariah.

Kita ketahui di 2021 beberapa data buruk terjadi, mulai dari angka kemiskinan yang mencapai angka 27,54 juta jiwa. Sarjana pengangguran yang hampir tembus 1 juta jiwa. Dan, beragam musibah berupa bencana alam di mana pada awal 2022 telah terjadi 68 kali bencana alam dengan 38 di antaranya berupa banjir. Idealnya realitas tersebut sudah seharusnya pemerintah sikapi dengan kebijakan yang cepat dan komprehensif.

Tulus dan Ikhlas

Di satu sisi publik tampaknya mengerti bahwa pemerintah ingin mempersembahkan yang terbaik di dalam masa baktinya sampai 2024 bagi Indonesia. Tetapi, betapa pun niat dan tujuan baik, memperhatikan prosedur amatlah penting. Terlebih dalam hal UU telah ada mekanismenya, satu di antaranya adalah partisipasi publik.

Lebih jauh, pemindahan ibu kota bukan semata soal biaya dan tempat, tetapi dampak negatif yang kemungkinan terjadi. Apakah cukup diatasi dengan diminimalisir atau justru dampak buruk yang ditimbulkan potensial lebih merugikan.

Seperti tentang lingkungan hidup, sosial, masyarakat adat atau lokal. Kemudian sisi keamanan.

Kepala Departemen Advokasi Walhi, Zenzi Suhadi, seperti dilansir hukumonline mengatakan perpindahan ibukota bukan berarti memindahkan beban yang diampu Jakarta, tapi menduplikasinya ke daerah lain. Klaim pemerintah yang menyebut Kalimantan Timur relatif aman dari bencana sehingga cocok sebagai lokasi ibukota baru dinilai tidak tepat karena di wilayah tersebut rawan kebakaran hutan, tsunami, bahkan pernah mengalami gempa bumi.

Zenzi menilai rencana perpindahan ibukota lebih menguntungkan kalangan pengusaha dan pebisnis. Misalnya di sektor properti, mereka butuh ruang baru untuk berkembang karena di Jakarta sudah jenuh di mana harga tanah sudah sangat tinggi. Pemilik konsesi industri perkebunan, kehutanan, dan pertambangan juga akan untung karena mereka sudah memiliki lahan di tempat tersebut.

Jika benar analisis di atas, maka sebaiknya pemerintah kembali melakukan introspeksi diri, jangan sampai sebuah mimpi dan langkah besar yang menguras kekuatan ekonomi negara ternyata justru membawa kita semua pada kerugian yang besar dan tak terduga.

Baca Lagi: Membangun dengan Tidak Buru-buru

Sementara itu Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai, akibat pandemi Covid-19 membuat ketertarikan investor dalam dan luar negeri cukup rendah terhadap proyek pembangunan infrastruktur IKN. Di sisi lain, tingkat keuntungan proyek infrastruktur relatif tidak menarik karena sebagian besar proyek fokus pada pembangunan fasilitas pemerintahan.

“Jika investor mau bantu proyek IKN pun terbilang sulit karena tingkat keuntungan proyek infrastruktur relatif kurang menarik. Apalagi proyek bangun gedung pemerintahan. Kalau ada investor mau masuk lebih baik buat pabrik mobil listrik, bukan gedung pemerintahan baru, jelas lebih bermanfaat,” ujar dia saat dihubungi MNC Portal Indonesia Munggu (21/3/2021) seperti dilansir sindonews.

Jadi, kembali pemerintah dan DPR perlu merenung ulang, introspeksi massal, apakah keputusannya benar-benar mengarah pada kemajuan atau justru jauh panggang dari api bagi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa dan negara. Itu semua tak perlu dijawab dengan argumentasi tapi cukup dengan kejernihan, keikhlasan dan ketulusan hati.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment