Kita mengenal Ust. Abdullah Said sebagai pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah, sebuah lembaga pendidikan Islam yang kini telah berkembang menjadi organisasi massa Islam nasional. Namun, tahukah kita bahwa beliau juga memiliki ketajaman analisis dalam menanggapi peristiwa global keumatan?
Belum lama ini saya mendapat potongan rekaman tausiyah Ust. Abdullah Said dari putra bungsu beliau, yakni Bang Tashir.
Rekaman itu mengungkapkan sisi lain dari Ust. Abdullah Said. Dalam rekaman tersebut, beliau menyampaikan paparan yang sistematis dan bertenaga mengenai isu-isu global, layaknya headline news di media massa.
Beliau tak hanya memahami peristiwa yang terjadi, namun juga mampu menganalisisnya secara mendalam dan memberikan pandangan yang cerdas dengan artikulasi yang bernas.
Padahal saat beliau ceramah, informasi belum sederas sekarang. Hal itu mengindikasikan dengan perangkat radio, koran dan mungkin televisi, beliau fokus memantau situasi global umat Islam. Sekalipun kita tahu, media tak selamanya mampu mengupas realita dengan sangat terbuka.
Perhatikan situasi sekarang, apakah mungkin ada orang menjadi “ahli” atau minimal “terampil” mengartikulasikan situasi bangsa, umat, bahkan dunia karena membaca berita semata. Membaca link artikel atau berita yang datang ke ponsel sendiri pun belum tentu! Kecuali person yang memang terampil membaca, serta benar-benar tajam dalam analisa.
Strategi Dakwah
Salah satu poin penting yang beliau sampaikan adalah pentingnya strategi dalam berdakwah.
Saya menangkap bahwa tanpa kekuatan memadai, strategi harus benar-benar jitu. Agar jangan dakwah baru mulai, langsung dihentikan. Hal itu beliau sampaikan sambil mencontohkan semangat ikhwan di Pakistan yang perlu diimbangi dengan strategi yang matang.
Ust. Abdullah Said, atau yang bernama asli Muhsin Kahar, lahir di Sinjai, Sulawesi Selatan, pada 17 Agustus 1945. Ia memiliki pemikiran bahwa dalam mencapai cita-cita mulia, semangat memang penting. Namun tak cukup berbekal semangat, harus ada ilmu, strategi dan tentu saja kapasitas.
Nah, dalam upaya itulah, perjalanan hidupnya didedikasikan untuk dakwah dan pendidikan Islam. Beliau mendirikan Pesantren Hidayatullah pada tahun 1973 di Gunung Tembak, Balikpapan, dengan tekad membangun generasi muslim yang tangguh dan berwawasan luas.
Pesan beliau tentang pentingnya strategi dakwah masih sangat relevan hingga saat ini. Di era digital yang penuh dengan dinamika dan tantangan, umat Islam perlu memiliki strategi yang tepat agar dakwah dapat berjalan efektif dan mencapai tujuannya.
Dewasa dan Matang
Ust. Abdullah Said juga mengingatkan kita untuk menjadi kader dakwah yang dewasa dan matang. Ini sebuah dorongan agar kaum muda tak sekadar bergerak, tak sebatas bernarasi, tapi ada rel, ada koridor.
Baca Juga: Hidup Bahagia dan Membahagiakan
Dan, tentu saja ada tujuan yang lebih besar daripada terus “terkejut-kejut” oleh situasi yang berkembang dan mengalihkan fokus.
Seperti yang saya tangkap dengan kuat. Ada kalimat Ust. Abdullah Said supaya kita lebih dewasa dan lebih matang di dalam mengintai dan menyergap peluang-peluang strategis yang ada.
Artinya kita harus aktif, kemudian kuat dalam riset dan mengambil keputusan berdasarkan data, bukan rasa-rasa, apalagi coba-coba.
Kematangan dalam berdakwah menurut beliau bukan hanya soal semangat, tetapi juga kesadaran, kekuatan, dan kesiapan.
Dan, di era di mana sebuah tema bisa viral dan semua orang ikut arus, kita perlu memiliki pendirian yang teguh dan tidak mudah terombang-ambing.
Pada akhirnya, kita bisa ambil kesimpulan bahwa sudah saatnya kita kembali mengingat Ust. Abdullah Said.
Dalam kata yang lain, mari kita belajar dari Ust. Abdullah Said, yang tenang, strategis, dan mampu membuat gerakan dakwah yang mengejutkan sekaligus membahagiakan umat Islam.
Sekalipun ini bukan perkara mudah. Karena orang umumnya senang dengan hal viral, cepat merespon tanpa paham apa yang direspon. Namun, kita tetap harus bisa berpikir tenang, strategis dan berdampak.
Semoga kita bisa meneladani ketajaman analisis dan kebijaksanaan beliau dalam menyikapi berbagai permasalahan umat, baik di tingkat lokal maupun global.
Jika saat itu belum ada ponsel seperti sekarang, maka apa yang menghalangi kita sekarang bisa seperti beliau, setidaknya dalam hal analisa dan artikulasi situasi keumatan dunia.*