Home Hikmah Ukiran Karakter Bahagia: Sebuah Renungan tentang Infak
Ukiran

Ukiran Karakter Bahagia: Sebuah Renungan tentang Infak

by Imam Nawawi

Dalam pandangan filsafat hidup, manusia tidak sekadar makhluk rasional, tapi juga makhluk etis—yang menemukan makna bukan hanya dari apa yang dimiliki, tapi dari apa yang diberi. Infak, dalam konteks ini, bukan sekadar anjuran agama, melainkan latihan spiritual yang membentuk watak manusia sejati. Karakter memberi yang basisnya iman dan ujungnya ridha Tuhan.

Islam menempatkan infak bukan hanya saat lapang, tapi juga dalam sempit. Ini menandakan bahwa memberi bukanlah soal surplus, melainkan soal prinsip. Lebih dalam lagi ini tentang iman dan sekaligus takwa.

Siapa bertakwa jalan keluar akan Allah bukakan. Itu berarti, siapa tidak mau meniti jalan takwa, hidupnya akan rumit. Ia tidak akan Allah bukakan jalan keluar. Oleh karena itu infak harus kita latih. Sampai jadi ukiran karakter yang memancarkan nilai takwa.

Infak Mengukir Keindahan dalam Jiwa

Kita tahu bersama, ukiran baik pasti lahir dari ketekunan. Karakter memberi dapat kita bentuk dengan latihan dan konsistensi.

Orang yang berinfak bukan soal mampu. Tapi mau karena sadar dan yakin. Karena itu ia memilih jalan bisa memberi manfaat dan maslahat.

Pada tataran inilah infak sebenarnya jalan pembebasan. Pembebasan jiwa dari kecemasan hidup yang kerap melekat pada harta. Harta itu benda, tapi tak sedikit jiwa yang terpenjara olehnya.

Lebih jauh, infak juga simbol dari keteguhan iman bahwa yang bisa menolong kita adalah Allah. Adapun harta adalah bagian dari sarana kita mematuhi-Nya dengan penuh kesadaran.

Kita hidup dalam dunia yang cenderung menilai dari apa yang dimiliki. Namun infak melawan logika itu. Ia menawarkan pandangan alternatif: bahwa kebahagiaan justru tumbuh ketika kita berani mengambil peran sebagai tangan di atas.

Memberi adalah tindakan subversif terhadap egoisme. Ia melembutkan batin, menumbuhkan empati, dan merawat kesadaran bahwa hidup ini bukan tentang menumpuk, melainkan mengalirkan.

Infak Subuh

Infak subuh, misalnya, menjadi bentuk disiplin spiritual yang senyap tapi dalam. Saat dunia masih sunyi, kita mulai hari dengan melepas, bukan menggenggam. Itulah latihan paling jujur untuk membentuk karakter pemberi.

Bayangkan kalau semua pejabat yang beragama Islam rutin infak Subuh. Apakah mungkin mereka masih melihat korupsi sebagai jalan yang membahagiakan?

Dan jika karakter ini hidup dalam diri umat, kita tidak hanya akan jadi kuat secara materi, tapi matang secara makna. Umat yang memberi, adalah umat yang layak memimpin. Sebab ia tidak hanya punya, tapi tahu mengapa harus berbagi.

Tantangan Mengapa Infak

Perhatikan dengan baik, mengapa angka judi online di Indonesia begitu besar? Lebih besar 11 triliun rupiah daripada hasil penghimpunan zakat?

Zakat terhimpun 40 triliun rupiah hingga 2024. Sementara judi online 51,3 triliun rupiah dalam setahun 2024. Apa makna dari data itu?

Boleh jadi, karena sebagian umat ini belum memandang bahwa infak itu jalan kebahagiaan. Akibatnya mereka hanya tahu tentang bagaimana mendapat tambahan uang, dalam jumlah besar dengan cara paling ringan.

Itulah yang akan jadi pilihan mereka yang tak mau membuka mata hati. Tak peduli lagi langkah itu curang, haram dan membahayakan semuanya. Bahkan ia lupa yang sebenarnya yang dapat menolongnya adalah pilihan sadarnya sendiri: amal perbuatan.

Tapi pilihan bebas ada pada diri masing-masing jiwa. Mau menghamba kepada Allah SWT atau kepada uang. Menghamba kepada Allah pasti bahagia.

Menghamba pada uang, uang bisa hilang. Sebab uang itu hanya benda, buah kesepakatan. Meski hati selalu ingin menggenggamnya, kita harus sadar uang bukan Tuhan.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment