Tulis, Mam! Pengalamanmu bagus-bagus. Itulah ungkapan guru saya saat belajar di STAIL Surabaya, Ustadz Anwar Djaelani. Sosok kalem dalam bertutur namun dalam kala menulis.
Dan, sebagai seorang pendidik, Ustadz Anwar seakan tak pernah mau berhenti memotivasi muridnya tetap tekun menulis.
“Ini buku, bawa, bisa jadi bahan podcast kita berdua,” ucapnya yang kusambut tawa bahagia.
Buku itu judulnya “Terampil Jurnalistik Tampil Simpatik.”
Baca Juga: Pernikahan dan Tulisan, Beda Tapi (Bisa) Sama
Buku setebal 256 halaman itu berkisah tentang bagaimana tokoh-tokoh yang tekun menulis selalu mudah kita dapatkan inspirasinya.
Pada contoh ke 11 ada bab berjudul, “Panduan A. Hassan Menulis Kritis di Media.”
A. Hassan adalah sosok yang cerdas, tak kalah dengan Soekarno. Bahkan ia pernah berdebat dengan Soekarno yang takjub dengan sekularisasi ala Mustafa Kamal Attaturk.
Dalam kata yang lain, A. Hassan bukan saja penulis jitu, tetapi juga pembaca hebat, tak kalah unggul dari Bung Karno. Dan, itulah anak-anak bangsa terdahulu.
Mereka gemar membaca, walau bacaan belum banyak, listrik belum ada, dan internet belum datang.
Lima Pesan
A. Hassan memberikan pesan perihal apa yang utama bagi penulis.
Pertama, mengarang atau menulis itu satu pekerjaan yang mulia dan sangat dihormati. Syaratnya, saat menulis sang penulis bisa berlaku adil (dalam berpendapat), sopan (di kalimat-kalimatnya), jujur (dalam menyampaikan ilmu), dan punya maksud baik untuk dan memperbaiki (kondisi kemasyarakatan).
Kedua, seorang pengarang/penulis boleh mengritik perbuatan atau sikap (calon) tokoh yang tidak baik.
Ketiga, seorang pengarang/penulis boleh mengritik terbuka di depan umum kepada suatu perkumpulan atau perusahaan yang melakukan kesalahan di depan umum. Kesalahan yang dimaksud adalah sesuatu yang merusak atau merugikan.
Keempat, seorang penulis/pengarang boleh mengritisi jika menjumpai tulisan jelek atau salah yang sudah tersiar di surat kabar atau buku.
Kelima, secara umum, pengarang/penulis harus bisa membantah pikiran-pikiran atau pendapat-pendapat yang tidak benar yang sudah tersiar.
Untuk hal ini, lebih baik bantahan itu disalurkan lewat surat-surat kabar, asal dengan maksud dan cara yang sebaik-baiknya.
Renyah dan Mengalir
Bagiku Ustadz Anwar Djaelani akan tetap menginspirasi, memberi energi untuk terus berbagi melalui tulisan. Beliau sudah menulis 10 buku, saya masih jauh.
Baca Lagi: Menulis untuk Bermanfaat
Belum lagi, tulisan-tulisan dalam bentuk artikel beliau sangat khas, renyah dan mengalir. Pada titik ini saya tak pernah mau berhenti belajar menulis.
Namun prinsipnya satu, tetap menulis dan menulis dengan niat ikhlas karena Allah.
Siapa yang mau menulis, ia akan punya kesempatan menjadi sosok besar bangsa ini, seperti HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Soekarno, M. Natsir dan Hamka.
Kata Ustadz Anwar Djaelani, mereka adalah orang yang istimewa. Keempat orang itu cakap menulis dan meninggalkan sejumlah warisan berupa buku.
Maka, sungguhlah tak dapat kusangkal hikmah yang tersirat dalam nasihat bijak Ustadz Anwar Djaelani.
Selayaknya aku tak pernah lelah menyulam kata, merangkai cerita, termasuk momen-momen berharga dalam lakon hidupku.
Kalam beliau menegaskan, bahwa rentetan pengalamanku merupakan mosaik indah yang pantas untuk kutuangkan dalam lembaran-lembaran buku.
Ya Allah, berikanlah jalan.*