Selama satu abad terakhir, Amerika Serikat (AS) publik kenal sebagai negara adidaya. Kekuatannya mendominasi ekonomi, politik, dan militer dunia. Namun, belakangan ini muncul tanda-tanda bahwa dominasi tersebut mulai melemah. Salah satu indikatornya adalah kebijakan tarif dagang era Donald Trump, yang memicu gejolak global. Presiden China, Xi Jinping, bahkan menyebut langkah ini sebagai bentuk “intimidasi.”
Keputusan Trump menaikkan tarif impor secara drastis—terutama terhadap China—merupakan upaya untuk mempertahankan supremasi ekonomi AS. Namun, fenomena ini justru mengungkap keretakan dalam kekuatan internal AS.
Alih-alih bersikap kaku, Trump membuka ruang negosiasi bagi negara-negara yang merasa rugi. Indonesia termasuk salah satu negara yang mendapat kesempatan bernegosiasi lebih awal, bersama Vietnam, Jepang, dan Italia.
Namun, seperti Al Jazeera kabarkan, negosiasi ini tidak hanya soal tarif. Ada agenda politik, pertahanan, dan keamanan yang tersembunyi dari kebijakan itu.
Intinya, AS ingin memastikan hegemoninya tetap kuat secara global. Negara-negara mitra harus patuh pada kebijakan Gedung Putih, termasuk dalam urusan politik luar negeri.
Dunia bisa melihat bahwa memang AS punya kepentingan. Pertama, memaksa negara lain mengubah perilaku. Kedua, menjadikan itu alat tekanan atau proteksi terhadap industri dalam negeri. Dan, ketiga, AS ingin membuka pasar, membentuk aliansi, atau mengisolasi lawan.
Lebih sederhana, apa yang Trump lakukan bak permainan catur atau poker. Trump mungkin beranggapan kadang gertakan itu penting. Trump menaikkan tarif bisa jadi bukan untuk benar-benar memukul, tapi untuk menguji lawan dan mencari “kawan”.
China Menolak Tunduk pada Tekanan AS
Namun AS melakukan itu karena sadar ada kekuatan yang mulai menuju setara, yakni China. Faktanya, China mengambil sikap berbeda. Dengan kekuatan ekonomi dan militer yang semakin solid, Beijing menolak tunduk pada tekanan AS. Menurut data Bank Dunia 2023, China telah menjadi mitra dagang utama bagi lebih dari 130 negara, melampaui AS. Ini menunjukkan pergeseran kekuatan global yang signifikan.
Secara ilmiah, fenomena ini mencerminkan teori “power transition” dalam hubungan internasional, di mana negara adidaya lama (AS) berhadapan dengan penantang baru (China). Data empiris menunjukkan bahwa AS masih unggul dalam hal inovasi teknologi dan pengaruh budaya populer. Namun, China terus menguat dalam produksi manufaktur dan diplomasi ekonomi.
Pertanyaannya, apakah Trump benar-benar menjadi penanda masa berganti?
Jawabannya mungkin ya, jika kita melihat bagaimana dominasi AS kini mulai mengundang pertanyaan global. Namun, pergeseran dunia, bukan perkara instan. Perubahan ini tidak akan terjadi dalam semalam.
Perjalanan ini adalah proses panjang yang melibatkan kontestasi kekuatan antara dua raksasa global.
Negosiasi di Era Trump: Strategi atau Lemahnya Dominasi?
Ketika Trump menetapkan tarif dagang, dunia sebenarnya sedang bersiap-siap. Namun, tak lama setelah keputusan itu, Trump membuka gerbang negosiasi. Semua negara pun datang dengan mental “meminta bantuan” agar keputusan itu bisa berubah. Ada penyesuaian. Indonesia pun melakukan itu.
Kompas.id melaporkan bahwa Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, “Dari hasil pembicaraan, Indonesia merupakan salah satu negara yang diterima lebih awal. Ada beberapa negara yang sudah berbicara dengan AS, antara lain Vietnam, Jepang, dan Italia.” Hal ini terekam dalam konferensi pers virtual pada Jumat (18/4/2025) pagi waktu Jakarta.
Jadi, bisa kita anggap bahwa Trump, dengan keputusan itu, sejatinya mengundang berbagai negara untuk datang ke AS. Berbagai kepentingan politik AS kemudian disampaikan dan ditawarkan. Jika relevan, maka tarif itu akan mengalami penyesuaian. Kondisi ini menunjukkan bahwa AS kehilangan strategi untuk memainkan peran dominasinya dengan lebih elegan.
Sebagian orang menilai bahwa sikap Trump ini dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai pebisnis. Namun, sebuah keputusan yang bisa dinegosiasi seperti ini tampaknya menandakan ada kekuatan yang melemah. Mungkin bisa orang anggap sebagai strategi, tapi bagi negara seperti AS yang sangat kuat, rasanya itu bukan murni taktik.
Bargaining Position
Secara strategi, langkah Trump menaikkan tarif dagang secara besar-besaran bisa dibaca bukan semata soal kekuatan ekonomi, tetapi juga soal bargaining position. Kenaikan tarif bukan tujuan akhir, melainkan alat negosiasi. Jadi, ketika setelahnya terjadi perundingan, itu bukan berarti Trump “tidak punya kekuatan utuh,” melainkan justru sedang memainkan kekuatannya dengan cara yang khas: agresif di awal, lalu membuka ruang kompromi.
Tapi, kalau dilihat dari sudut lain—yakni respons internasional dan dampak balik ke dalam negeri—bisa juga dibaca bahwa kebijakan itu tidak sepenuhnya sustainable.
Negara lain seperti Tiongkok membalas dengan kebijakan serupa, dan sektor pertanian AS sempat terpukul. Artinya, kekuatan ekonomi AS besar, tapi tetap ada batasnya ketika berhadapan dengan sistem global yang saling terhubung.
Dalam kata yang lain, Trump memang punya kekuatan, tapi dunia juga punya “rem” terhadap ekspansi sepihak. Negosiasi akhirnya adalah bentuk realpolitik. Bisa jadi itu bukan kekalahan, melainkan pengakuan bahwa kekuatan pun harus dikalkulasi dengan bijak. AS sepertinya tengah menyadari itu.
Refleksi untuk Indonesia
Bagi Indonesia, situasi ini menjadi ujian penting. Apakah diplomasi internasional Indonesia masih kuat atau lemah?
Secara umum, negara yang tidak memiliki diplomasi kuat akan kesulitan mempertahankan kepentingannya di panggung internasional. Keberhasilan Indonesia dalam negosiasi tarif dagang dengan AS dapat menjadi indikator kekuatan diplomasi nasional.
Fenomena ini juga mengingatkan kita bahwa perubahan kekuasaan global bukanlah hal yang instan. Ia adalah proses panjang yang membutuhkan adaptasi dan strategi cerdas dari setiap negara.
Bagi Indonesia, menjaga diplomasi yang kuat adalah kunci untuk tetap relevan dalam dinamika geopolitik global. Tapi diplomasi yang kuat juga tak bisa kita lepaskan dari stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri.
Era Trump mungkin menjadi titik balik dalam dominasi AS di panggung global. Namun, waktu masih akan memberi kesempatan pada kontestasi kekuatan antara AS dan China.
Bagi Indonesia, ini adalah momentum untuk memperkuat diplomasi internasional agar tetap kompetitif di tengah perubahan besar dunia. Satu sisi tetap bersahabat dengan AS namun juga tak melepas pertemanan dengan China. Lebih penting, semua itu Indonesia lakukan untuk mewujudkan rakyat yang sejahtera. Bukan larut dalam permainan-permainan yang tak tak jelas arahnya.*