Seringkali, dalam heningnya waktu, kita terperangkap dalam alasan-alasan yang membuat kita enggan melakukan kebaikan. Entah itu menunda atau meninggalkan komitmen yang telah termaktubkan. Ya, wajar saja kalau akhirnya orang juga meninggalkan seseorang.
Sekarang, coba perhatikan dengan seksama: apa untung yang sebenarnya kita dapatkan dari kemalasan?
Apakah kita senang berteman dengan orang malas, suka beralasan dalam kesepakatan?
Akal budi manusia, dengan segala kebijaksanaannya, tahu betul bahwa kemalasan hanya membawa kerugian—menunda waktu yang sangat berharga, menghambat potensi diri, dan menutup pintu kesempatan, bahkan kesempitan.
Padahal, momen yang kita miliki adalah “sekarang”, satu-satunya waktu yang tak akan pernah kembali.
Semua pengetahuan, seluruh pengalaman, akan tidak ada kalau tidak kita buktikan sekarang. Kita amalkan hari ini, detik ini juga.
Tak Ada Kebaikan dari Alasan
Setiap alasan itu benar. Kenapa kamu terlambat ke kelas? Alasannya selalu ada. Selama alasan itu ada, seseorang sulit untuk memperbaiki diri. Karena dengan alasan dia seperti berada dalam kebenaran.
Akan tetapi, di balik alasan-alasan itu, tersimpan fakta yang tak bisa dipungkiri; kerugian.
Secara ilmiah, kemiskinan misalnya. Itu tidak hanya sekadar kekurangan materi, tetapi juga membawa dampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental.
Dalam kata yang lain boleh jadi fisik dan mentalnya memang masalah lebih awal. Kerugian pasti menghampiri.
Penelitian menunjukkan bahwa hidup dalam kemiskinan dapat memicu stres berkepanjangan, menurunkan daya tahan tubuh, dan bahkan mempengaruhi kemampuan kognitif.
Tekanan ekonomi yang berat membuat seseorang sulit untuk berkembang, menjeratnya dalam siklus yang seolah tak berujung.
Dalam kerangka pemikiran logis, kondisi ini membatasi kreativitas, mengurangi produktivitas, dan pada akhirnya memperkecil peluang untuk meraih keberhasilan.
Jadi, ekonomi tak mengapa lemah. Tetapi cita-cita, kepribadian, mental, kinerja dan akal, jangan pernah kita pakai sebagai validator kemalasan dengan berbagai macam dalih alias alasan.
Keuntungan Tekun
Sebaliknya, bagi mereka yang memilih untuk rajin, tekun, dan menjauhi kemalasan, kehidupan menawarkan banyak keuntungan yang mendalam—baik secara filosofis maupun logis.
Secara filosofis, kerja keras membentuk karakter, menguatkan tekad, dan menumbuhkan rasa syukur terhadap setiap langkah yang diambil.
Baca Juga: Buang Malas, Ingat Umur Kita Terbatas
Filosofi hidup yang aktif dan penuh semangat mendorong seseorang untuk tidak hanya mengejar sukses duniawi, tetapi juga meraih kebahagiaan yang hakiki.
Dari sisi logis, rajin dan konsistensi membuka jalan bagi peningkatan produktivitas, pertumbuhan ekonomi pribadi, serta peluang yang lebih besar untuk sukses di berbagai bidang.
Orang yang tekun akan menemukan jalan keluar dari kemalasan. Pada saat yang sama juga selamat dari jeratan kemiskinan. Lebih jauh juga dapat menginspirasi lingkungan sekitarnya untuk bersama-sama bergerak menuju perbaikan.
Setiap usaha yang ia lakukan dengan sepenuh hati menciptakan rantai kebaikan yang menular, sehingga kebaikan itu sendiri menjadi kekuatan yang mampu mengubah arah hidup.
Maka, mengapa harus menunda kebaikan dengan berbagai alasan demi membenarkan kemalasan?
Setiap Detik
Dalam setiap detik yang kita miliki, tersimpan potensi luar biasa untuk melakukan perubahan positif. Mari kita ubah kemalasan menjadi langkah-langkah kecil menuju kebaikan.
Mulailah menolak alasan, membuang dalih dan membuka hati. Kemudian merangkul setiap kesempatan untuk berbuat baik. Karena di balik setiap usaha yang gigih, terdapat keberkahan yang menanti untuk dituai, dan masa depan yang lebih cerah menunggu untuk dibangun—satu langkah nyata hari ini.
Bukankah matahari selalu akan menyapa bumi di pagi hari? Setiap detik cahayanya adalah sumber kebaikan bagi tumbuhan, hewan dan seluruh bumi.
Tidakkah itu cukup bagi kita untuk menjadi pribadi yang bebas dari beralasan dan menjadi lebih disiplin, penuh dedikasi dan tak ingkar janji?*