Puasa itu ternyata perlu. Semakin dijalani terasa manfaatnya. Namun puasa tidak selamanya ada masa dimana yang perlu ini akan berlalu.
Ramadhan akan berakhir, kebaikan harus terus diukir. Sebagian sedih karena akan berpisah dengan bulan dimana kemuliaan, keberkahan dan kebaikan terus mengalir. Sebagian merenung, memantau diri usai semua kebaikan di bulan Puasa Ramadhan telah berakhir.
Umar bin Abdul Aziz berkata putrinya. “Hari raya itu bukan bagi orang yang memakai pakaian baru, akan tetapi hari raya, bagi mereka yang takut terhadap hari pembalasan.”
Artinya, puasa harus membekas dalam diri, berupa pemahaman, semangat, sekaligus komitmen untuk benar-benar sadar akan sebuah kata yang menentukan, yakni, akhir.
Baca Juga: Bergegas dan Jangkah Keberkahan Akhir Ramadhan
Jika berakhirnya Ramadhan dimaknai sebatas hari raya sebagaimana adanya, maka jelas, puasa menjadi luntur setelah takbiran berlalu. Jika puasa dimaknai hanya ritual fisik, maka tentu, sudah tidak ada lagi perilaku yang harus dipandu oleh ajaran mulia itu sendiri.
Tetapi, sadarkah kita bahwa sejatinya hakikat puasa tidak pernah bertemu dengan kata akhir?
Realitas
Kita selalu butuh akan puasa. Oleh karena itu ada ruang bernama puasa sunnah di luar Ramadhan. Namun, kala digali lebih dalam inilah yang sejatinya kita butuhkan terus-menerus, terutama dalam hal kehidupan nyata.

Puasa perlu agar diri terus bergerak dan suka membantu
Kita tahu, makna puasa adalah menahan diri, mengendalikan diri, dan mengatur kehendak diri agar tetap sesuai dengan kehendak Ilahi. Dan, ini adalah hal yang dalam kehidupan nyata juga memberikan fakta bahwa langkah-langkah seperti itu seringkali tidak bsia diingkari.
Amat berbahaya jika seseorang tidak menahan diri pada saat situasi dan kondisi memaksa langkah itu yang harus diambil.
Sebagai contoh, masyarakat di Jabodebek, terutama yang dalam perjalannnya harus melintasi rel kereta api, begitu palang jalan dihorizontalkan, maka jangan coba-coba menerobos. Bisa jadi selamat, tapi itu tindakan nekad alias tidak bisa menahan diri. Dan, itu artinya puasa tidak berbekas apa-apa.
Puasa hakikatnya menahan diri dari terjerumus pada keinginan yang justru membinasakan atau mendekatkan diri pada kerugian besar. Namun, karena ilustrasi penyeberangan rel kereta api itu bersifat fisik, rata-rata manusia memahami dan karena itu bisa tertib di dalam melakukannya.
Produktivitas
Disadari atau tidak Ramadhan telah meningkatkan produktivitas manusia lahir dan batin. Dari sisi lahir, emak-emak bisa sangat cekatan masak di dapur, untuk buka dan sahur. Bapak-bapak jadi nikmat dan khusyuk dalam ibadah, penuh gairah demi meraih berkah.
Tetapi, itu semua idealnya tidak berhenti apalagi berlalu dan tiada pasca Ramadhan selesai.
Seyogyanya, produktivitas itu meningkat, minimal terpelihara dengan baik.
Baca Juga: Guru Sentral Peradaban
Tetapi, kapan itu bisa dilakukan? Hanya ketika diri sadar bahwa puasa itu perlu, bukan saja kala Ramadhan, tetapi sepanjang waktu hingga akhir hayat.
Shiyam memberikan ruang manusia harus sabar disitu berarti ada ujian. Dan, ujian itu perlu untuk merangsang kedewasaan kepribadian seseorang.
Bukankah kita memahami bahwa kelancaran tidak selamanya menjadi kunci keberhasilan jangka panjang?
Justru memberi ujian itu perlu, memberikan kesempatan diri menghadapi kesulitan itu perlu, karena dari situasi itulah akalnya bekerja, imannya bergerilya, dan hatinya meratap memohon kepada-Nya.
Kapan waktu terbaik semua itu bisa maksimal dengan fungsi utamanya, jika tidak kala sedang berpuasa?
Mas Imam Nawawi_Ketua Umum Pemuda Hidayatullah