Kita tentu ingat. Pesan Nabi SAW kepada seorang sahabat yang minta nasihat. Lalu Nabi SAW bersabda, jangan marah bagimu surga. Tidak marah memang kaya akan manfaat. Bagaimana penjelasannya?
Tidak marah adalah pilihan orang cerdas. Menariknya siapapun yang mau bernalar, pasti memandang bahwa marah tidak memiliki manfaat sedikit pun.
Dalam buku Filosofi Teras termaktub ungkapan dari Marcus Aurelius. Kemarahan dan kesedihan itu sangat merusak.
Jadi, marah (bawa perasaan) kata Henry Manampiring, adalah sumber dari segala masalah.
Tidak Marah Tanda Pribadi Cerdas
Orang yang mudah marah sebenarnya kehilangan kecerdasannya. Ia masih punya kepala, tapi otaknya tak lagi bisa mencerna apapun dengan baik.
Kemampuan rasionalitasnya lumpuh karena dominasi hawa nafsu berupa kemarahan. Ia seperti anak kecil yang kehilangan permen yang sangat disukainya. Langsung meronta-ronta, menangis dan merusak apapun yang ada di hadapannya.
Oleh karena itu, memilih berpikir walau sejenak, memastikan diri tidak marah adalah tanda dari kecerdasan.
Orang yang tidak marah artinya mampu melihat dengan objektif. Ia tidak memiliki keputusan berdasarkan tuntutan emosi belaka. Tetapi tercerahkan karena proses bernalar di dalam akal dan hati.
Keuntungan Tidak Marah
Pada dasarnya marah itu alamiah. Semua orang bisa merasakan dan memang memiliki potensi marah. Namun, marah tetap harus kita kendalikan. Jangan karena marah gelap semua pandangan. Termasuk pandangan iman.
Tidak marah akan memberi keuntungan langsung kepada kita.
Pertama, terpeliharanya kemampuan nalar.
Kedua, besarnya harapan akan pertolongan Allah. Sebagaimana Nabi Ya’qub memilih sabar dengan segala tindak-tanduk buruk kakak-kakak Nabi Yusuf as.
Ketiga, bisa menerima cahaya kebenaran. Penyebab hati merasa sempit dan gelap, karena seperti ruangan yang kita halangi dari cahaya matahari dengan tidak membuka jendelanya.
Tentu masih banyak lagi. Salah satunya seperti sabda dari Rasulullah SAW.
“Tidaklah seorang hamba meneguk tegukan yang lebih besar pahalanya daripada seteguk kemarahan yang ditahannya karena mengharapkan keridhaan Allah.” (HR Ibnu Majah).*