Pernah melihat film bagaimana intelijen bekerja? Dari mereka ada yang jago berkelahi, memainkan pistol, tetapi jangan pernah meremehkan orang yang berada di balik meja dan menguasai IT dengan sangat baik. Sebagian lagi sangat lihai dalam melakukan analisa. Begitulah manusia harus saling menguatkan. Tetapi Allah, “wasi’a kulla syay-in ‘ilma.” Jadi kalau kita selalu bersama Allah, tenang itu pasti.
Manusia secerdas apapun, sekaya apapun, sekuat apapun, masih sangat bergantung kepada orang dan hal-hal lain.
Kalau kata Gus Baha, sehebat apapun manusia, ia tetap tidak bisa hidup kalau tidak makan. Merasa jago dan terhormat, ternyata manusia selalu butuh terhadap yang namanya nasi.
Saya pernah mendapat tugas melakukan liputan kehidupan suku terasing di dalam hutan yang berada di kaki Gunung Bongka.
Saat itu saya membawa uang cash belasan juta rupiah. Tetapi, setiba di desa itu, uang yang saya simpan sama sekali tidak berguna. Karena jarak yang jauh dengan desa sekitar. Orang setempat biasa berangkat pagi dan kembali sore, sekadar untuk membeli beras.
Saat itu memang tidak ada jalur darat yang tersedia. Satu-satunya jalur andalan adalah sungai. Dan, biayanya luar biasa.
Jadi saya memegang uang, tetapi saya tidak bisa belanja. Karena memang tidak ada perdagangan di desa yang baru saja mulai dikembangkan itu.
Baca Juga: Bahagia dengan Mengingat Allah, Begini Faktanya
Begitulah kehidupan manusia, ia bisa kaya, cerdas dan hebat. Tetapi kalau tidak bersama Allah, semua itu tidak akan banyak berguna bagi kebaikan hidupnya sendiri. Apalagi bagi orang lain.
Aplikasi
Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara hidup bersama Allah itu?
Alquran (QS. 20: 98) menerangkan bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu (wasi’a kulla syay-in ‘ilma).
Artinya, apapun yang Allah tetapkan bagi kehidupan umat manusia, semuanya pasti baik.
Mungkin kita pernah bertemu seseorang, usianya sudah 45 tahun ke atas. Kemudian ia menuturkan pengalaman hidupnya.
Lalu ia berpesan, “Ya, itulah dahulu hidup ini. Sekarang saya baru tahu betapa Allah begitu dekat. Jadi, jangan lupakan sholat.”
Fakta itu menunjukkan bahwa manusia sangat terbatas ilmunya. Apa yang dahulu ia tidak suka, belakangan ia sadari, itulah yang terbaik dari Allah.
Hal ini menandakan bahwa dalam menilai diri dan kehidupan yang kita alami, hendaknya benar-benar berdasarkan ilmu. Bukan keinginan biasa.
Nabi Yusuf as mungkin akan membenci Allah, menyadari hidupnya penuh penderitaan.
Akan tetapi, karena punya mimpi mulia dan itu pasti akarnya ilmu, maka putra ganteng Nabi Ya’qub as itu rileks menjalani kehidupan, seberat apapun cobaan yang dihadapi.
Nah, Allah Ta’ala, Tuhan yang kita sembah itu Maha Mengetahui apapun juga, bahkan yang bergejolak dalam dada seseorang.
Jadi, apalagi yang membuat kita tidak tenang mentaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya?
Ma’rifatullah
Dengan demikian, kunci kebahagiaan dalam hidup seseorang adalah hidup bersama Allah. Gerbang untuk bisa hidup bersama Allah, kita butuh yang namanya ma’rifatullah.
Ibn Qayyim rahimahullahu berkata, “Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba tentang Allah azza wa jalla (ma’rifatullah), maka semakin bertambah pula rasa takut dan pengagungan hamba tersebut kepada-Nya.”
Secara bahasa ma’rifatullah artinya mengenal Allah dan mencintai-Nya.
Jelas sekali, ya. Jangan pernah ada 24 jam berlalu, kecuali kita terus memperkuat ma’rifatullah dalam hati. Hanya dengan cara itu kita akan merasakan ketenangan dan tidak putus harapan kepada-Nya.
Baca Lagi: Menulis itu Mencipta
Sebab bagaimana hati ini akan terguncang dan semakin gersang, sedangkan kita menyadari semua ada dalam pengetahuan-Nya. Dan, Allah Maha Pengasih Maha Penyayang.*