Siang yang cerah (16/1/25) saya berdiskusi dengan kolega. Ia menuturkan banyak hal. Tapi secara garis besar ia kecewa akan sikap orang-orang yang melukai hatinya di masa lalu. Ia tampak memendam api amarah dalam wajahnya. Namun, ketika ia usai bercerita saya katakan, “Mari kita tatap masa depan”.
Masa lalu cukup jadi pelajaran. Jangan pernah utak-atik masa lalu untuk menjadi marah, benci, tidak suka dan sebagainya. Apalagi sampai berperilaku buruk pada hari ini dan esok.
Saat saya mengajak kolega itu menatap masa depan dalam psikologi ada istilah mindfulness dan cognitive restructuring.
Mindfulness adalah praktik kesadaran penuh yang mengajarkan kita untuk hadir di saat ini tanpa menghakimi.
Melalui mindfulness, kita dapat mengamati pikiran dan perasaan tanpa terbawa oleh siapapun di luar kita, terutama yang mendorong atau menarik kita berpikir secara negatif.
Sedangkan Cognitive Restructuring adalah teknik yang digunakan dalam terapi kognitif untuk mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif atau tidak realistis. Ini membantu seseorang melihat situasi dari perspektif yang lebih positif dan konstruktif.
Cerdas Emosional
Memandang masa depan artinya kita menyiapkan diri. Peristiwa masa lalu, baik atau buruk, cukup jadi penguat referensi hidup, itu pengalaman berharga. Tapi kita tak perlu kembali ke masa lalu. Selain tidak berguna, itu juga tidak mungkin. Maka persiapkan diri.
Daniel Goleman mengatakan kita butuh memiliki kecerdasan emosional.
Ia berkata, “Yang benar-benar penting untuk kesuksesan, karakter, kebahagiaan, dan pencapaian seumur hidup adalah seperangkat keterampilan emosional yang pasti – kecerdasan emosional Anda – bukan hanya kemampuan kognitif murni yang diukur oleh tes IQ konvensional.”
Kecerdasan emosional itu beragam bentuknya. Dalam dunia psikologi, kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) merupakan kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri serta emosi orang lain.
Tetapi kalau mau sederhana, teladani Rasulullah SAW. Beliau SAW adalah sosok yang jujur sejak usia 6 tahun. Beliau SAW terampil dalam bisnis. Lebih dari itu Nabi SAW sangat mengedepankan akhlak dalam pergaulan.
Sesuai Ajaran Islam
Secara rasional kita dapat melihat dan memahami bagaimana mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dengan teori psikologi modern.
Baca Juga: Merumuskan Masa Depan
Misalnya, ungkapan bahwa “Kecerdasan emosional dalam Islam adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi diri sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadis, serta berempati dan berperilaku baik terhadap orang lain,” adalah hal yang bisa kita tangkap secara mudah dalam tataran rasional.
Sekarang coba cek kondisi bangsa dan negara kita, bukan pejabat berpendidikan yang kurang. Akan tetapi orang yang secara mental dan intelektual memiliki keterpaduan dengan kecerdasan emosional lebih-lebih spiritual yang mungkin belum ada.
Akibatnya jelas, sebagian besar mereka tidak peduli terhadap rakyat. Mereka sangat peduli terhadap nasib mereka sendiri. Lantas apakah mereka bahagia? Ciri orang bahagia ia tidak butuh melawan kebenaran.
Senyum Cerah
Usai saya memberikan sistem penjelas bahwa kita tak perlu mengingat masa lalu untuk menjadi marah dan rugi, kolegaku itu tersenyum.
Kepada kolega yang lain saya katakan, “Coba perhatikan senyum dia sebelum dan setelah mengenal konsep menatap ke depan, berbeda bukan.”
Kolegaku yang lain mengangguk yakin lalu berkata, “Benar sekali”.
Sungguh hidup ini adalah tentang hari ini, akan kita maksimalkan seperti apa. Akan kita gunakan untuk apa dan kita akan melangkah kemana.
Jadi kalau memang ingin bahagia dan sukses ke depan, jangan senang bercerita masa lalu, yang membuat hati dan akal terbelenggu dari kebebasan menyiapkan diri lebih baik pada hari ini dan kedepan.
Langkah pamungkas berdoa kepada Allah. Dalam Islam, meminta pertolongan kepada Allah dalam menghadapi emosi negatif adalah langkah penting. Doa dan ibadah dapat memberikan ketenangan dan kekuatan emosional.*