Mas Imam Nawawi

- Artikel

Takwa Stabilkan Emosi

Sejauh ini kalau mendengar kata takwa maka lanjutannya adalah jalan keluar, solusi dari masalah. Namun, sebenarnya lebih dekat dari itu, takwa mampu stabilkan emosi seseorang. Tentu kita pernah melihat orang yang begitu mudah marah, memaki dan mengumpat orang lain hanya karena hal sepele. Seorang sarjana hukum keluarga dari sebuah universitas di Jogja pernah menuturkan kepadaku […]

Takwa stabilkan emosi

Sejauh ini kalau mendengar kata takwa maka lanjutannya adalah jalan keluar, solusi dari masalah. Namun, sebenarnya lebih dekat dari itu, takwa mampu stabilkan emosi seseorang.

Tentu kita pernah melihat orang yang begitu mudah marah, memaki dan mengumpat orang lain hanya karena hal sepele.

Seorang sarjana hukum keluarga dari sebuah universitas di Jogja pernah menuturkan kepadaku bahwa ada gugatan perceraian terjadi, yang itu hanya karena suami beli sandal. Sandal itu tidak pas pada kaki sang istri. Istrinya marah kemudian langsung menggugat cerai.

Baca Juga: Takwa Sumber Bahagia

Tentu bagi sebagian orang itu tidak masuk akal. Tetapi itu kenyataan.

Dalam kata yang lain jiwa manusia itu mudah sekali guncang. Kalau kita tidak memiliki ketakwaan, bisa saja kita terombang-ambing oleh emosi yang meledak-ledak seperti itu.

Teori

Dari sisi teori, belakangan telah muncul penjelasan mengenai pentingnya kecerdasan emosi.

Gardner misalnya, ia menerangkan bahwa orang bisa saja kognisinya bagus, intelektualnya encer.

Akan tetapi kalau ia tidak bisa menguasai diri kala temperamen atau mengalami demotivasi, maka ia akan terseret pada keburukan pikir dan perilakunya sendiri.

Howard Earl Gardner yang ahli pendidikan dan psikologi itu menjelaskan bahwa pribadi yang cerdas itu mampu tampil dengan emosi yang baik.

Sanggup melihat secara terang, sehingga tampak perbedaan mana perasaan positif dan negatif dalam hatinya, yang perlu untuk jadi jalan guna menuntut tingkah laku yang baik.

Ketika itu terjadi, maka seseorang akan lebih mudah memahami orang lain, apa yang memotivasi orang lain, bagaimana mereka bekerja, dan seterusnya.

Ustadz Hasyim Hs, Pendiri Hidayatullah pernah mengatakan bahwa dalam tugas dakwah jangan pernah minta diri kita dipahami oleh orang lain. Tetapi berusahalah agar diri ini memahami orang lain.

Targetnya jelas, kita tidak “didikte” oleh pola pikir atau pun tingkah laku orang lain, dalam bahasa Gus Baha. Jadi opsi kita melakukan apapun, benar-benar Lillahi Ta’ala.

Perilaku Takwa

Sekarang kita perhatikan, takwa itu apa saja secara konkret.

Baca Lagi: Manusia Kelas Keledai

Ternyata takwa itu adalah berbagi, dalam kondisi lapang maupun sempit. Kemudian, takwa itu menahan amarah dan memberikan maaf. Selanjutnya melakukan kebaikan-kebaikan (QS. Ali Imran: 134).

Nah, kalau kita cerna secara rasional, siapa yang bisa menahan amarah, apalagi kalau punya kuasa dan harta merasa diri mulia dari orang lain yang papa?

Tidak akan ada orang yang mau menahan amarah, kecuali dia sadar takwa lebih baik.

Bahkan tidak akan ada kemauan melakukan kebaikan-kebaikan kalau seseorang tidak yakin takwa adalah sebaik-baik pendorong jiwa melakukannya.

Jadi, cerdas itu bukan sebatas kognisi, linguistik, matematika dan apapun yang sifatnya sempit. Kecerdasan tertinggi manusia itu adalah takwa.

Ketika seseorang cerdas matematika, tapi nihil takwa, ia akan mengira punya uang banyak dengan jalan korupsi itu bagus, keberhasilan.

Tetapi bagi orang yang bertakwa, memiliki sesuatu itu bukan seutuhnya milik diri sendiri. Ada 2,5% hak orang lain yang membutuhkan. Kesadaran akan hal itu dan melakukannya, itulah takwa.

Tentu saja masih ada dimensi lain dalam manifestasi takwa. Semoga Allah jadikan kita semua insan bertakwa.*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *