Berbagai guru besar dari beragam kampus, seperti UGM, UI, UIN Jakarta, UII, ULM dan lainnya telah mengangin-anginkan suara mereka untuk Presiden demi bangsa dan negara. Namun, bahana nurani dan akal sehat itu sepertinya tidak akan mendapat sambutan dari istana alias tidak didengar. Meski begitu, tak usah gusar jika tak didengar.
Dalam kehidupan, secara sikap orang akan terbagi dalam dua kutub. Pertama, percaya dan bersuara untuk melakukan kebaikan.
Kedua, sadar perlu melakukan sesuatu namun ia tidak punya rasa percaya diri (apatis), sehingga menderu pun tidak.
Begitupun dalam konteks bernegara sekarang. Saat sivitas akademika kampus ramai menyampaikan tuturan penting untuk Presiden, masyarakat akan terbelah ke dalam dua kutub itu.
Ada yang percaya suara itu perlu. Begitu pula ada yang tak yakin, suara itu akan didengar. Kelompok kedua ini biasanya pandai menertawakan dan merasa sikapnya yang efektif. Padahal ia tidak melakukan apapun.
Akan tetapi kalau kembali pada langkah membentuk jalan sejarah, yang bisa bersuara, maka jangan ragu untuk berteriak, menyampaikan kebenaran, nasihat bagi akal untuk tetap sehat dan seterusnya.
Karena bagaimanapun yang mengubah keadaan adalah tindakan. Dan (tindakan) itu sebagian besar diawali dengan adanya suara. Ingat, orang berjoget, orang menari karena ia mendengar suara. Bahkan orang mau melangkah ke masjid, karena ia mendengar ada suara.
Baca Juga: Inilah yang Membahagiakan
Apakah karena suara muadzin hanya mampu mengundang orang ke masjid atau mushola sebanyak 10 orang, lalu suara adzan tidak perlu berkumandang lagi?
Pecahkan Kesunyian
Belajar dari filosofi adzan, terutama pada waktu Subuh kita seharusnya sadar, bahwa suara yang memanggil keinsafan penguasa, untuk bangkit dari lelapnya tidur adalah keharusan.
Penguasa tidak boleh tidur terlalu lelap, sampai-sampai lupa akan waktu fajar menyapa bumi dan mentari menghangatkan alam. Bangun tahu-tahu lahap makan dan main sikat dalam membuat kebijakan.
Penguasa bukan Nabi yang suci dari noda dan salah. Penguasa justru pelanjut risalah kebaikan yang Nabi teladankan.
Maka saat ia tidak lagi mengindahkan nilai-nilai dasar kemanusiaan, adalah kewajiban bagi para ilmuwan, guru besar dan dunia kampus memekikkan suara kebenaran.
Sekarang, kalau ada orang berkata, tidak usah bersuara, siapa mau dengar. Biarkan saja dia berkata-kata. Karena waktu Subuh itu hanya akan disadari oleh orang yang hatinya mendengar dan mengikuti suara kebenaran itu dengan melangkah ke masjid.
Gelombang
Jika hari ini gelombang suara hati nurani rakyat melalui guru besar itu dianggap lemah, tak berdaya dan tak akan banyak berguna. Sikap terbaik adalah tetap bersuara.
Baca Lagi: Jadilah Top Skor Kebaikan
Tetapi sadarilah, bahwa semakin banyak yang diam apalagi menertawakan suara-suara itu, sejatinya mereka sadar, bahwa suara itu telah menjadi gelombang. Mereka sangat mengerti gelombang itu akan terus besar dan mengembang.
Jika gelombang ini tidak berhenti, cepat atau lambat, mereka yang masih bersembunyi, merasa aman dan seakan-akan punya kendali terhadap kehidupan ini, hatinya akan gelisah, resah. Mereka sadar, suara kebenaran, walau kecil, itu benar-benar mengganggu dan akan menjadi raksasa.
Dan, penguasa yang tuli, sebenarnya hanya tidak mau peduli dengan memalingkan kerja telinga. Namun yang terusik dan membuatnya semakin susah adalah hati nuraninya. Karena hati nurani lebih peka daripada telinga yang di kepala. Walau mereka coba menutupinya dengan earphone. Bukankah Fir’aun risau karena Nabi Musa yang tak punya apa-apa?*